Kebudayaan Sunda

Kamis, 21 Januari 2016


KEBUDAYAAN SUNDA



            Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku di antaranya suku Sunda yang pada umumnya tinggal di Jawa Barat atau Tatar Sunda.[1] Tatar sunda merupakan wilayah (tanah, tatar) yang menurut sumber setempat meliputi bagian barat pulau Jawa, dengan batas sebelah timur, (sampai akhir abd ke-16) adalah sungai Cimapali (Kali Pemali sekarang), tetapi kemudian batas itu pindah ke sebelah barat ke sungai Cilosari. Menurut Tome’ Pires, orang portugis, pada tahun 1513, batas sebelah timur adalah sungai Cimanuk. Batas sebelah barat tatar sunda berupa laut yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera, yang disebut selat Sunda.[2]

            Dalam Geologi (ilmu bumi), tatara sunda juga dikenal dengan nama dataran sunda, yaitu dataran pada masa lampau (masa glacial) terbentang dari barat ke timur antara lembah Brahmanadapura di Myanmar sekarang hingga Maluku. Wilayah ini terdiri atas Sunda besar yang meliputi pulau Sumatera, Kalimantan, pulau Jawa, dan Madura, serta sunda kecil yang terdiri atas pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor (sekarang wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur).[3]

Pada saat ini, entah karena faktor politik atau faktor lainnya wilayah sunda lebih kecil hanya meliputi Jawa Barat yang disebut tatar Sunda. Masyarakat yang memiliki budaya dan bahasa Sunda disebut orang Sunda atau urang Sunda.[4]

            Penamaan Sunda bagi tanah, wilayah, dan penduduknya telah digunakan pada abad ke-18, sebagaimana dibuktikan oleh prasasti Parahajian Sunda yang ditemukan di Bogor. Segala sesuatu yang bertalian dengan kebudayaan Sunda yang merujuk pada kebudayaan masa pra-Islam (sebelum abad ke-17) disebut Sunda Buhun (Sunda Kuna); tetapi yang intensif digunakan adalah menyangkut bahasa, sastra, dan aksara (bahasa sunda kuno dan aksara sunda kuna).

  1. Bahasa Sunda
    Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, bentuk prasasti berasal dari abad ke-14. Prasasti ini ditemukan di Kawali Ciamis, dan ditulis di batu alam dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini terdiri atas beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintah prabu Niskala Wastukancana.
    Bahasa Sunda banyak sekali megalami penambahan perbendaharaan kata sejak masa pra islam hingga setelah islam datang. Bahasa sunda sempat banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur bahasa Sansekerta dari India sebagaimana terlihat di Naskah kuno. Bahasa Sunda sempat pula dimasuki bahasa arab setelah islam datang seperti kata – kata masjid, salat, maghrib, abdi, dan saum misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda.
    Pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 bahasa Jawa masuk mempengaruhi bahasa Sunda. Bahasa Sunda terdesak oleh bahasa Jawa karena bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi di lingkungan pemerintahan. Selain itu, tingkatan bahasa atau undak usuk basa dan kosa Jawa masuk pula dalam bahasa Sunda mengikuti pola bahasa Jawa yang disebut unggah ungguh basa.[5]
    Dengan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi sosial secara nyata. Walaupun begitu, bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari – hari masyarakat Sunda. Bahkan, di kalangan masyarakat kecil, terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap, terutama untuk menuliskan karya sastra wawacan dengan menggunakan aksara Pegon. Di kota – kota, bahasa Sunda terutama digunakan dalam lingkungan keluarga, di dalam percakapan antara kawan dan kenalan yang akrab, dan juga di tempat – tempat umum dan resmi diantara orang – orang yang saling mengetahui, bahwa mereka itu menguasai bahasa Sunda. Dalam hubungannya dengan kehalusan bahasa sering dikemukakan, bahwa bahasa Sunda yang murni dan yang halus ada di daerah Priangan, seperti di Kabupaten Ciamis, Tasikmalay, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi, dan Cianjur. Sampai sekarang dialek Cianjur masih dipandang sebagai bahasa Sunda yang terhalus. Bahasa Sunda yang dianggap agak kurang halus adalah bahasa Sunda di dekat pantai Utara,misalnya di Banten, Karawang, Bogor, dan Cirebon. Bahasa orang Badui, yang terdapat  di Banten selatan adalah bahasa Sunda kuno.[6]
                Bahasa Sunda, sebagaimana dipaparkan diatas mengenal adanya tingkatan dalam Bahasa yang disebut Unda-Usuk yaitu tata cara berbahasa untuk mebedakan golongan usia dan status social. Berikut Unda-usuk dalam bahasa Sunda:

  1. Bahasa Sunda Lemas (halus) yang digunakan untuk berbicara kepada orang tua, orang yang dituakan atau yang disegani.
  2. Bahasa Sunda Sedang yang digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun status sosialnya.
  3. Bahasa Sunda Kasar yang digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada orang yang status sosialnya lebih rendah.

            Dalam Bahasa Sunda terdapat pengejan huruf vocal E yang berbeda sesuai dengan tanda baca.Contoh :e, è dan eu.[7]



  1. Sistem Pengetahuan
    Sistem pengetahuan merupakan salah satu unsur kebudayaan universal, artinya, unsur kebudayaan ini sudah pasti ada dan bisa ditemukan di semua kebudayaan semua bangsa di seluruh dunia. Yang dimaksud dengan system pengetahuan adalah segala macam pengetahuan yang dimiliki individu-individu tentang alam, flora dan fauna, ruang dan waktu, serta benda-benda yang terdapat di sekeliling tempat hidup individu sebagai anggota masyarakat.

Berbagai macam pengetahuan tentang beragam hal ini tidak berkembang sendiri-sendiri, tetapi selalu saling terkait. Dalam banyak hal, sistem pengetahuan sangat erat berkaitan atau bersinggungan dengan sistem kepercayaan.  Kaitannya dengan pengetahuan alam, Petani suku bangsa Sunda akan menghubungkan munculnya bintang wuluku dengan permulaan mengerjakan sawah atau menanam padi, karena kemunculan bintang wuluku menandakan awal musim penghujan. Lain halnya dengan datangnya musim kemarau yang ditandai dengan terdengarnya suara serangga yang dinamakan tonggeret.

Berkaitan dengan flora dan fauna, sebagaimana umumnya kita ketahui di lingkungan fauna adalah berkaitan dengan kesehatan. Contoh daun sirih, baik sirih hijau, terlebih sirih merah, dapat berfungsi sebagai desinfektan, obat sakit gigi; daun handeuleum berfungsi sebagai obat wasir; dan masih banyak jenis flora lain yang bermanfaat bagi kehidupan. Adapun Pengetahuan tentang fauna lebih berkaitan dengan sistem kepercayaan. Etnis Sunda percaya jika mendengar suara burung suit uncuing berarti di dekat suara burung tersebut akan ada orang yang meninggal. Apabila seseorang kejatuhan seekor cecak, artinya orang tersebut akan mendapat sial.

Begitu selanjutnya, hingga pengetahuan mengenai ruang dan waktu berkaitan  dengan kepercayaan yang menyatakan bahwa dunia ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. yang menyatakan bahwa dunia ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas diibaratkan dengan langit, dunia bawah diibaratkan dengan bumi. Sedang Dunia tengah ini terbagi lagi menjadi empat bagian berdasarkan empat arah mata angin dan ditambah dengan pusatnya di bagian tengah yang disebut pancer. Pembagian dunia tengah ke dalam lima bagian ini dikenal dengan sebutan madhab papat kalima pancer yang berarti empat arah mata angin dan kelima pusatnya.[8]

Demikian gambaran sebagian berkenaan dengan system pengetahuan kebudayaan Sunda.



  1. Sistem Kemasyarakatan
    Berbicara mengenai organisasi sosial suatu suku bangsa pada dasarnya adalah membahas sistem pengelompokan masyarakat yang didasarkan atas umur, sistem atau hubungan kekerabatan, dan lain sebagainya serta bagaimana hubungan-hubungan yang terjadi antara individu atau kelompok individu di dalam kelompok masyarakat tersebut yang telah terpolakan sehingga telah menjadi suatu sistem hubungan yang mantap.
    Berdasarkan umur, manusia dalam masyarakat Sunda dapat dibedakan dalam empat kelompok, meliputi kelompok anak-anak (budak), pemuda (jajaka untuk laki-laki, mojang untuk perempuan), orang dewasa (sawawa), dan orang tua (kolot). Untuk ketentuan umur, menurut data formal yang terdapat di kantor-kantor desa di Jawa Barat, kelompok anak-anak ditentukan dengan cirri atau batas usia dari 1 sampai 15 tahun, kelompok pemuda dari 15 tahun sampai 25 tahun, kelompok orang dewasa dari 25 tahun sampai 50 tahun, dan kelompok orang tua dari 50 tahun ke atas. Khusus untuk wanita yang berumur 17 tahun tetapi telah menikah, ia tidak lagi dimasukkan dalam kelompok pemuda tetapi masuk dalam sawawa.[9]
    Berdasarkan hubungan kekerabatan, orang Sunda menganut sistem kekerabatan yang bersifat parental, artinya orang Sunda memperhitungkan dan mengakui hubungan kekerabatan, baik melalui garis keturunan bapak maupun garis keturunan Ibu. Dalam keluarga Sunda, ayah biasa dipanggil  abah dan ibu dipanggil  ema oleh  anak-anaknya.  Nama  panggilan  ayah  biasanya  berdasarkan  nama  anaknya yang tertua atau yang pertama. Misalnya, anaknya yang pertama laki-laki bernama Kidi,  maka  ayahnya  biasa  dipanggil  Abah  Kidi. Adapun kakek dan nenek dipanggil  aki  dan  nini. Adik-adik ayah dan ibu yang laki-laki (paman) dipanggil  emang, sedangkan adik-adik ayah dan ibu yang perempuan  dipanggil  bibi.  Kakak-kakak  ayah  dan  ibu  yang  laki-laki  dan perempuan  biasa  dipanggil  uwa.  Apabila  seseorang  menikah,  maka  istrinya disebut  pamajikan, sedangkan suami disebut salaki. Adik-adik istri, baik laki-laki maupun perempuan, disebut adi beuteung, sedangkan kakak-kakak istri baik yang laki-laki maupun yang perempuan disebut  dahuan. Orang tua istri dan orang tua suami  saling  menyebut  besan.  Orang  tua  istri  (mertua)  disebut  mitoha. Adapun orang tua menyebut cucunya dengan istilah incu.
    Berdasarkan pelapisan  sosialnya.  Alisjahbana melakukan studi  mengenai  organisasi  dan  struktur  sosial  orang Sunda  di  wilayah  Priangan,  menyatakan  bahwa  pelapisan  sosial  masyarakat  desa  (jalma  leutik)  di  wilayah Priangan  sampai  tahun  1916  dapat  diklasifikasikan  menjadi  lima  macam,  yaitu:

  1. Berkaitan dengan tanam paksa,
  2. Berkaitan dengan kepemilikan tanah,
  3. Pendidikan
  4. Kedudukan dalam pemerintah desa, dan
  5. Agama.

Penduduk desa yang berkaitan dengan pelaksanaan tanam paksa dapat dibedakan atas tiga kelompok sosial masyarakat desa, yaitu:

  1. Pribumi, jalan bumi, atau cacah, yaitu keturunan keluarga – keluarga pendiri desa. Mereka memiliki tanah pertanian sejak lama, juga punya rumah dan tanah pekarangan. Mereka tergolong penduduk inti desa.
  2. Buyubud, batur, manumpang, yaitu mereka yang biasanya hanya mempunyai rumah dan pekarangan.
  3. Bujang atau nyusup, yaitu mereka yang memiliki rumah, tetapi terletak di pekarangan (tanah milik orang lain)

Berdasarkan Aktivitas Tolong Menolong, Organisasi sosial yang erat kaitannya dengan aktivitas tolong menolong di  masyarakat  Sunda  di  daerah  pedesaan,  di  antaranya  adalah  hiras,  liliuran,  dan  silih anteuran. Hiras,  seperti  yang  terdapat  pada  masyarakat  Desa  Situraja  Kabupaten Sumedang,  adalah  aktivitas di mana seseorang  membantu orang lain melakukan suatu pekerjaan, tanpa mendapatkan upah, melainkan  hanya mendapatkan makan. Selain  hiras,  terdapat  aktivitas  kerja  sama  atau  ikatan  sosial  lainnya  di  antara para petani dalam masyarakat pedesaan di Jawa Barat, yaitu  liliuran, yang  berarti saling tukar tenaga. Terdapat  aktivitas  tolong-menolong  lainnya  pada  kehidupan  masyarakat desa  di  Jawa  Barat  yang  dahulu  merupakan  kelaziman, namun  saat  ini  sudah  mulai  menghilang.  Aktivitas  yang  dimaksud  adalah  sislih  anteuran.  Pada  masa lalu,   sekitar  tahun  1950-an,  ketika  tiga  hari  menjelang  Lebaran,  masyarakat  di Jawa  Barat   masih  kental  dengan  budaya  saling  kirim makanan  Lebaran  dalam rantang. Budaya ini ternyata merekatkan jalinan silaturahim, dengan keluarga atau tetangga. Dalam adat istiadat Sunda budaya ini disebut silih anteuran.



  1. Sistem peralatan dan teknologi

  1. Alat Produksi
    Sebagian besar masyarakat Sunda pada awalnya adalah masyarakat agraris  yang  bercocok  tanam  dengalat-alat produksi yang digunakan oleh masyarakat Sunda sebagian adalah alat-alat produksi pertanian atau alat-alat yang kemudian berhubungan dengan produksi pertanian dan  cara  berladang  maupun  bersawah. Berladang  atau berhuma  identik  dengan  penggunaan  lahan  yang  berpindah-pindah,  bergantung pada kesediaan lahan  yang subur.
    Peralatan yang mereka gunakan sangat sederhana  dan  sangat  sedikit  apabila  dibandingkan dengan  peralatan  yang digunakan untuk bersawah. Masyarakat Baduy hanya menggunakan bedog,  arit, kored, etem, dan pisau, serta alat-alat lain dari kayu atau bambu, misalnya batang kayu yang digunakan untuk melubangi tanah untuk menanam benih. Berikut gambar Bedog: 









  1. Alat-alat Distribusi dan Transportasi
    Alat-alat  transportasi  pada  masyarakat  Sunda  tradisional  umumnya   mengandalkan  tenaga  hewan,  baik  untuk  mengangkut  manusia  maupun  hasil bumi.  Hasil  bumi  (pertanian  dan  perkebunan)  untuk  didistribusikan  atau diperdagangkan  umumnya  diangkut  menggunakan  pedati  yang  ditarik  oleh  sapi, kerbau, atau kuda. Untuk mengangkut penumpang, umumnya bukan pedati yang digunakan, tetapi kereta kuda. Di tatar Sunda, kereta kuda untuk angkutan umum biasa disebut sebagai  delman,  sado,  keretek, atau  dokar. Delman biasanya beroda dua  atau  empat  dan  ditarik  oleh  satu  atau  lebih  dari  satu  ekor.


  2. Senjata
    Selain pakakas yang digunakan dalam kehidupan sehari – hari pacul, arit, bedog dan kujang, terdapat pula peralatan lain yang terbuat dari logam yang dalam bahasa Sunda termasuk ke dalam golongan pakarang. Pakarang sendiri dapat dimaknai sebagai senjata untuk berburu antara lain adalah gondewa (busur) dan jamparing (anak panah), kuli (tombak pendek), dan tumbak (tombak). Sementara itu, pakarang yang digunakan sebagai senjata berperang yang dikenal oleh masyarakat Sunda tradisional antara lain bajra (senjata serupa gada), badi (badik, senjata serupa pisau tapi bergagang bengkok), duhung (keris, kerap dijadikan perhiasan dan jimat), gada, gegendir (alat pemukul dari kayu atau besi), gobang (bedog panjang seperti pedang), sekin (pisau belati), sumpit dan paser (sumpit dan mata sumpit), tameng (perisai).
    Dari semua yang tersebut di atas, senjata yang kerap diidentikkan dengan masyarakat Sunda tradisional adalah Kujang. Kata kujang sendiri berasal dari penggabungan kata kudi dan (hyang). Posisi kujang dalam kebudayaan Sunda dapat dikatakan setara dengan posisi keris dalam kebudayaan jawa, yakni sama – sama dianggap sebagai senjata pusaka atau jimat yang bertuah. Akan tetapi, secara fisik kujang memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan keris. Kujang adalah pisau yang terdiri atas combong, (gagang) dan mata pisau. Mata pisau ini memiliki tiga bagian, yakni tadah (bagian yang bawah), beuteung (bagian perut atau tengah kujang), dan papatuk atau congo (ujung pisau). Bentuk mata pisau kujang melengkung, terutama pada bagian beuteung. Pada bagian beuteung ini, atau tonggong (punggung), umumnya terdapat lubang yang jumlahnya bervariasi, antara satu hingga Sembilan.

Menurut Jakob Sumardjo, kujang yang matanya tebagi menjadi tiga bagian tersebut adalah perlambang tritangtu atau tripartite masyarakat Sunda. Ujung kujang, menurutnya, berarti langit yang berasas perempuan, dengan ujung menghadap kiri tadah, yang menghadap ke kanan adalah bumi yang berasas laki – laki. Sementara itu, bagian beuteung, bagian yang paling kaya ornament, menunjukkan dunia tengah, pertemuan antara perempuan dan laki – laki, yang menghadap ke kiri dank ke kanan sekaligus. Ini menunjukkan bahwa dalam kujang terkandung filsafat dan mistisme Sunda yang kental, sehingga kujang menjadi pusaka yang mewakili alam pemikiran masyarakat Sunda.[10]

 .



  1. Sistem Religi
    Sebagian besar masyarakat suku Sunda menganut agama Islam, namun ada pula yang menganut agama Kristen, Hindu, Budha, Sunda Wiwitan dan lain sebagainya.Mereka tergolong pemeluk agama yang taat, karena kewajiban beribadah adalah prioritas utama. Pergi ke makam – makam suci sebagai tanda kaul banyak dilakukan oleh orang sunda terutama dari daerah pedesaan. Kepercayaan kepada cerita – cerita mite dan ajaran – ajaran agama sering diliputi oleh kekuatan – kekuatan gaib. Upacar – upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup, atau yang berhubungan dengan kaul, atau mendirikan rumah, menanam padi, yang mengandung banyak unsure – unsure bukan islam, masih sering dilakuakan.
                Dalam mitologi Sunda, yakni himpunan dongeng – dongeng suci Sunda, ada pula banyak unsure – unsure yang bukan islam. Orang – orang petani Sunda mengenal dongeng – dongeng yang bersangkut paut dengan tanaman padi, ialah cerita Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Walau demikian, ajaran agama islam juga tampak kuat pada orang sunda, apabila kita pelajari tahap – tahap dalam lingkaran hidupnya, dari sejak masa perkawinan, memasuki rumah untuk menetap, sampai pada saat meninggal duni ada adat memperingati seribu hari, dan lain -  lain. Hal ini membuktikan upacara agama masih mengikuti seseorang di daerah sunda.
                Upacara selamatan merupakan upacara terpenting. Dalam melaksanakan upacara ini hal yang paling diperhatikan adalah waktu. Untuk waktu pelaksanaan, biasa dilakukan pada kamis sore, malam jum’at. Slamatan hanya dapat berlangsung kalau ada orang yang dapat menyampaikan doa. Upacara dimulai dengan mengucapkan al-fatihah dan diakhiri lagi dengan al-fatihah pula.
                Hidangan slamatan di daerah jawa barat biasanya berupa tumpengan, ialah gundukan nasi seperti bentuk gunung yang diletakkan di atas bakiyang dibuat dari bamboo atau kayu. [11]

  2. Mata Pencaharian

Mayoritas masyarakat sunda berprofesi sebagai petani termasuk berhuma, penambang pasir, dan berladang. Sampai abad ke-19 banyak dari masayarakat Sunda yang berladang secara berpindah-pindah. Di wilayah perkotaan, banyak orang Sunda yang berprofesi sebagai buruh pabrik, pegawai negeri, dan pembantu rumah tangga. Profesi pedagang keliling banyak pula yang dilakukan oleh masyarakat Sunda.

Mata pencaharian pokok masyarakat Sunda adalah

  1. Bidang perkebunan, seperti tumbuhan the, kelapa sawit, karet dan kina.
  2. Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran.
  3. Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau.
    Selain bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, dan peternak.



  1. Kesenian
    Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang ada dan dimiliki oleh semua kebudayaan bangsa yang hidup di dunia ini. Bangsa-bangsa yang sudah maju, bahkan bangsa yang terpencil pun pasti memiliki kesenian. Demikian juga bangsa Indonesia yang merupakan masyarakat majemuk, yang terdiri dari berbagai suku bangsa sudah barang tentu memiliki kebudayaan yang berbeda-beda pada setisp suku bangsa itu, serta memiliki bentuk-bentuk dan jenis kesenian yang beraneka ragam.
    Dalam kehadiran awalnya, kesenian Sunda adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan suku Sunda sehari-hari, baik yang sakral maupun yang profan. Demikian eratnya pembauran antara satu wilayah kegiatan dengan kegiatan lainnya, begitu kaburnya batas satu unsur budaya dengan unsur budaya lainnya, hingga kehadiran kesenian itu sendiri tidak pernah tampil secara mandiri.
    Beberapa peninggalan prasejarah yang ditemukan di antaranya adalah pada dinding batu sebuah tebing terdapat lukisan berupa goresan-goresan menyerupai jari-jari kaki binatang. Lukisan tersebut terdapat pada sebuah tebing yang curam di tepi Sungai Cijolang di daerah Citapan, Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis. Sebagian lukisan tersebut oleh seorang arkeolog bangsa Belanda, yaitu N. J. Krom, disamakan dengan bentuk manusia.
    Pada masa Hindu Budha, kebudayaan hindu mempengaruhi Jawa barat dalam hal bahasa, lisan, seni pahat. Hal ini menghasilkan beberapa buah prasasti yang diantaranya ditemukan di Ciaruteun, kebon kopi, Gintung di daerah Ciampea Bogor. di mana prasati tersebut ditulis dalam bentuk syair yang indah, walaupun hanya terdiri atas empat buah baris saja.

Vikrantasyawanipateh

                                                       Crimatah Purnnawarmanah

Taruma-negarendrasya

                                                 Visno iva padavayam

Prasasti Ciaruteun dalam aspek lain, yaitu seni pahat, dapat dilihat akan keindahan aksara dan keindahan lukisan telapak kaki dan gambar lainnya, membawa masyarakat kini berpikir dan merasa kagum terhadap keterampilan pemahatnya.

Pada zaman pengaruh kebudayaan Hindu berbagai tarian berkembang pula, terutama tarian yang bercorak istana. Orang Sunda masih memiliki tarian yang masih erat hubungannya denganadat kehidupan, Masih erat kaitannya dengan kepetingan bersama di suatu lingkungan masyarakat, serta erat hubungannya dengan adat untuk membina kelestarian dan kesejahteraan lingkungannya.

Dalam khasanah seni tari, tari tradisional mengenal dua kategori yang amat dikotomis sifatnya, yaitu klasik dan tradisional. Namun demikianperkembangan tari di Jawa Barat secara historis, berbeda dengan daerah Jawa danBali yang pernah mengalami dua sistem kerajaan. Jawa Barat dalam kurun waktuyang lama telah kehilangan jejak yang menjadi sumber panutan atau tidak memiliki patron yang mengembaTari-tarian dari Jawa Tengah dan Jawa Timur diduga banyak bengaru terhadap tari-tarian di daerah Jawa Barat, seperti tari topeng dan bedaya.ngkan tari klasik.

Dalam masa ketika otonomi seni dikembangkan dan karya-karya yang monumental dihasilkan, proses lain yang merupakan akibat perubahan dan akulturasi juga terjadi. Proses ini dapat dinamakan proses profanisasi dari unsurunsur seni sakral, seperti dapat dilihat misalnya pada reog dan wayang golek; dan bahkan vulgarisasi seperti dilihat pada longser.

Tari Keurseus adalah salah satu seni tari yang berkembang di Jawa Barat. Tari Keurseus merupakan tari putra yang erat kaitannya dengan Tari Tayub, yaitu tari pergaulan di kalangan menak (bangsawan). Tari keurseus disusun dari gerakgerak tari tayub yang dirapikan dan terpola secara khusus. Tarian-tarian Keurseus mempunyai tingkatan-tingkatan dengan empat (tempo) masing-masing, yaitu: Leunyeup (lenyep atau liyep), bertempo Lalamba (Sangat Lambat), dengan karakter tari lungguh (halus): nyatria, bertempo sedeng (sedang), dengan karakter tari ladak atau lanyap (tangkas, lincah); Monggawa, bertempo gancang (cepat), dengan karakter tari gagah dan kuat serta Ngalana, gugurudugan (sangat cepat), dengan karakter lebih gagah dan kuat.

Adapun Lagu daerah sunda antara lain Lagu Daerah sunda antara lain yaitu Bubuy Bulan, Karatagan Pahlawan, Badminton, Bandung, Tokecang, Cingcangkeling, Manuk Dadali, Es Lilin dan Warung Pojok.[12]



























[1] Mumuh Muhhsin Z, dkk., Kajian Identifikasi Permasalahan Kebudayaan Sunda Masa Lalu, Masa KIni, dan Masa Yang Akan Datang, (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, 2011), hlm. 11
[2] Heny Gustini Nuraeni dan Muhammad Alfan, Study Budaya di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hlm. 115
[3] Ibid, hlm. 11
[4] Mumuh Muhsin Z, dkk., …, hlm. 13
[5] Heny Gustini Nuraeni dan Muhammad Alfan, Study Budaya di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,2013), hlm. 120
[6] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2004), hlm. 307-308
[7] https://www.academia.edu/7009256/7_Unsur_Kebudayaan_Suku_Sunda diakses pada tanggal 28 september 2015 pukul 14.12 WIB

[8] Mumuh Muhhsin Z, dkk., Kajian Identifikasi Permasalahan Kebudayaan Sunda Masa Lalu, Masa KIni, dan Masa Yang Akan Datang, (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, 2011), hlm. 43
[9] Ibid, hlm. 51
[10] Mumuh Muhhsin Z, dkk., Kajian Identifikasi Permasalahan Kebudayaan Sunda Masa Lalu, Masa KIni, dan Masa Yang Akan Datang, (Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjajaran, 2011), hlm. 114 - 115
[11] Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2004), hlm. 322
[12] https://www.academia.edu/7009256/7_Unsur_Kebudayaan_Suku_Sunda diakses pada tanggal 28 september 2015 pukul 14.12 WIB
Kebudayaan Sunda

0 komentar:

Posting Komentar