Kebudaayan Bali

Selasa, 19 Januari 2016

  1. Profil Provinsi BalI
Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur.
Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas fisiknya adalah sebagai berikut:


  • Utara : Laut Bali
  • Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat)
  • Selatan : Samudera Indonesia
  • Barat : Selat Bali (Propinsi Jawa Timur)
    Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga merupakan ibukota provinsi. Selain Pulau Bali Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.[1]
  1. Sistem Religi dan Kepercayaan
    Sebagian besar dari orang Bali menganut agama Hindu-Bali. Walaupun demikian, ada pula suatu golongan kecil orang-orang Bali yang menganut agama Islam, Kristen dan Katolik. Penganut-penganut agama Islam terutama terdapat di beberapa kota seperti Karangasem, Klungkung, dan Denpasar, sedang penganut-penganut agama Kristen dan Katolik terutama terdapat di daerah Denpasar, Jembrana, Singaraja.[2]
    Di dalam kehidupan keagamaannya, orang yang beragama Hindu percaya akan adanya satu Tuhan, dalam bentuk konsep Trimurti, Yang Esa. Trimurti ini mempunyai tiga wujud atau manifestasi, ialah wujud Brahmana, yang menciptakan, wujud Wisnu, yang melindungi serta memelihara, dan wujud Siwa, yang melebur segala yang ada. Di samping itu orang Bali juga percaya kepada pelbagai dewa dan ruh yang lebih rendah dari  Trimurti dan yang mereka hormati dalam pelbagai upacara bersaji. Agama Hindu juga menganggap penting konsepsi mengenai ruh abadi (atman), adanya buah dari setiap perbuatan (karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (punarbawa), dan kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali (moksa). Semua ajaran-ajaran itu termaktub dalam sekumpulan kitab-kitab suci yang bernama Weda.[3]
    Tempat melakukan ibadah agama Hindu di Bali pada umumnya disebut Pura. Tempat ibadah ini merupakan suatu kompleks bangunan suci yang mempunyai sifat berbeda-beda. Ada yang bersifat umum yakni untuk semua golongan, seperti Pura Besakih, tetapi ada pula pura yang dibangun berhubungan dengan kelompok setempat, seperti Pura Desa Kayangan Tiga. Pura ini mempunyai tiga bagian yaitu Pura Puseh, Pura Dalam, dan Pura Bale Agung.[4] Pura Puseh merupakan pusat untuk melaksanakan upacara-upacara peringatan penduduk pertama yang tinggal di suatu wilayah tertentu. Pura Dalam berguna untuk melaksanakan upacara penghormatan kepada roh/arwah dari anggota masyarakat yang telah meninggal. Sedangkan Pura Bale Agung untuk merayakan upacara/pesta odolan (pesta kesuburan tanah). Selain diatas terdapat pura lain, yaitu:  Pura  Rumah Tangga, untuk memuja arwah nenek moyang, Pura Subak yang biasanya dibangun di daerah persawahan atau pertanian, Pura Kerajaan untuk melaksanakan upacara-upacara yang tujuannya memperkuat adat istiadat kerajaan dan sebagainya.
    Sebagian besar masyarakat kehidupan masyarakat Bali selalu diwarnai dengan berbagai upacara adat. Di antara upacara atau ritual tersebut ada yang diselenggarakan kadangkala dan ada pula yang dilaksanakan setiap hari. Umumnya upacara-upacara besar yang diselenggarakan masyarakat Bali pada umumnya ialah:
  1. Upacara penyambutan kelahiran, dimulai dengan upacara Maralekat yaitu pemotongan ari-ari yang disebut kepus pingsit dan dihubungkan dengan upacara melepas hewan yang menerangkan upacara 12 hari setelah bayi berusia tiga bulan.Untuk golongan bangsawan tahapan upacaranya antara lain : Napak Race, Wawa Mijil, Kepus Udel dan Ninglepas Awon. Sedangkan untuk golongan Bali Aga istilahnya adalah, Tapakan, Kapus Sawen dan Nela Balanu yang ditambah dengan upacara Ngetus Jambat (cukur rambut). 
  2. Upacara turun tanah, pada upacara ini pertama kali agar anak mengenal watak dengan agama dan tradisi hidup. Pada hari itu anak tersebut diberi nama dan diberkahi serta boleh menginjak tanah, sebagian simbol dari dewa-dewa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa.
  3. Upacara potong gigi. Upacara ini berlangsung bagi setiap perempuan yang menjelang dewasa, sebagai tradisi lama yang menggambarkan agar seorang perempuan tidak mirip dengan Leak (yang selalu menonjolkan giginya), walaupun pelaksanaannya secara simbolik.
  4. Upacara kematian. Dalam hal kematian khususnya Bali ada jenazah orang yang meninggal tidak dikuburkan kedalam tanah, melainkan hanya diletakkan diatas tanah pada tempat yang dianggap sebagai kuburan sampai tinggal tulang belulangnya seperti di Trunyam. Bagi diletakkan di atas tanah tetapi dibakar yang disebut upacara Ngaben. Digambarkan bahwa apabila seorang yang meninggal dibakar maka akan meringankan rohnya untuk masuk ke alam lain. Mayat yang akan dibakar ditempatkan dalam suatu peti mati yang berbentuk sapi atau garuda. Peti mati berbentuk sapi tersebut berwarna khusus menurut kastanya. Putih untuk Brahmana, Hitam untuk kasta lain.[5]
  1. Sistem Bahasa
    Sistem bahasa di Bali tidak jauh berbeda dengan bahasa-bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan-peninggalan prasasti dari zaman Bali-Hindu menunjukkan pula bahwa terdapat bahasa Bali kuno yang jauh berbeda dengan bahasa Bali sekarang. Dalam bahasa Bali kuno, terdapat campuran bahasa Sansekerta dan kemudian juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari zaman Majapahit, yang waktu itu sangat besar pengaruh kerajaannya terhadap kebudayaan Bali.
    Bahasa Bali juga mengenal sistem perbendaharaan kata-kata hormat. Walaupun tidak sedetil dan sehalus bahasa Jawa. Namun bahasa hormat (bahasa halus) dewasa ini mengalami beberapa perubahan seiring terjadinya modernisasi dan pengaruh globalisasi dari beberapa aspek.
    Di Bali pun berkembang kesusastraan lisan dan tulisan baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Di samping itu sampai kini di Bali didapati juga sejumlah hasil kesusastraan Jawa Kuno (Kawi) baik dalam bentuk puisi maupun prosa yang dibawa ke Bali tatkala Bali di bawah kekuasaan raja-raja Majapahit.

  2. Sistem Pengetahuan
Konsep mengenai arah sangat penting keberadaannya bagi agama Hindu Bali. Hal-hal yang keramat diletakkan pada arah gunung (kaja), dan hal-hal yang biasa atau tidak keramat diarahkan pada arah laut (kelod). Bentuk dua arah yang berbeda ini tercermin pula pada letak susunan rumah dan bangunan-bangunan pusat dari desa. Sebisa mungkin letak dari bangunan-bangunan desa tersebut disesuaikan dengan konsep arah tadi. Misalnya pada arah gunung (kaja) diletakkan Pura Desa, dan pada arah laut (kelod) diletakkan Pura Dalem (kuil yang berhubungan dengan kuburan dan kematian).[6]
Selain itu masyarakat Hindu Bali juga mengenal sistem tanggalan. Sistem tanggalan Hindu Bali terdiri dari 12 bulan yang lamanya 355 hari, tetapi terkadang 354 atau 356 hari. Sistem perhitungannnya sesuai dengan sistem Hindu, yaitu perhitungan syuklapaksa (parohterang) dan kersnapaksa (parohgelap). Tiap-tiap bulan penuh (purnama) dan bulan mati (tilem) diadakan upacara kecil di tiap-tiap keluarga orang Bali. Sistem kalender Hindu Bali yang berdasarkan purnama-tilem ini dipakai pada perayaaan pura-pura  di berbagai daerah di Bali. Tahun baru saka yang jatuh pada tanggal 1 dari bulan kesepuluh (kedasa) diperingati sebagai hari raya nyepi.

  1. Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian Hidup
    Mata pencaharian pokok dari orang Bali adalah bercocok tanam. Dapat dikatakan 70% dari mereka berpenghidupan bercocok tanam, dan hanya 30% hidup dari peternakan, berdagang, menjadi buruh, pegawai atau lainnya. Berhubung dengan perbedaan-perbedaan lingkungan alam dan iklim di berbagai tempat di Bali, maka terdapatlah perbedaan dalam pengolahan tanah untuk bercocok tanam itu. Di daerah Bali bagian utara, tanah dataran sedikit, curah hujan kurang, maka dari itu bercocok tanam relatif lebih terbatas daripada di Bali bagian selatan. Di samping bercocok tanam di sawah, di Bali bagian utara sebelah timur dan sebelah baratnya ada usaha menanam buah-buahan (jeruk), palawija, kelapa dan kopi ( di pegunungan). Di daerah Bali bagian selatan yang merupakan daerah dataran yang lebih luas, pada umumnya dengan curah hujan yang cukup baik, penduduk terutama mengusahakan bercocok tanam di sawah.[7]
  2. Struktur Sosial dan Sistem Kekerabatan
  1. Struktur Sosial
Masyarakat Bali hidup secara berkelompok dalam satu desa pakraman (dulu desa adat) sebagai suatu kesatuan masyarakat. Dalam satu desa pakraman, biasanya terdiri atas satu atau lebih banjar pakraman sebagai unit di bawah desa pakraman, yang mempunyai seperangkat aturan adat (awig-awig) yang digunakan untuk mengatur hubungan perilaku antarindividu manusia dalam masyarakat. Awig-awig dibuat oleh warga desa (krama desa) melalui kesepakatan dalam rapat desa yang disusun berdasarkan atas nilai-nilai ajaran Hindu.[8]
Dalam wacana, struktur sosial masyarakat Bali dibagi ke dalam 4 kelompok strata yang dikenal dengan catur wangsa. Catur wangsa sebagai pengelompokan masyarakat Bali terdiri atas kelompok atau golongan brahmana wangsa, ksatrya wangsa, weisya wangsa, dan sudra wangsa (jaba wangsa). Tiga strata pertama termasuk dalam golongan tri wangsa dan golongan sudra wangsa sering disebut jaba wangsa. Keempat wangsa ini menunjukkan adanya perbedaan strata tradisional yang didasarkan atas keturunan. Di samping konsep wangsa dikenal pula konsep dadia, yang merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri atas beberapa keluarga dalam satu warga (klen) yang disebut soroh.[9]
  1. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Bali menganut sistem patrilineal, dalam hal ini garis keturunan ditarik melalui pihak laki-laki (purusa) menurut garis lurus. Dalam kaitan ini pihak laki-laki memegang peran penting, baik dalam hubungan kekeluargaan itu sendiri maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Dalam hubungan dengan kekeluargaan, anak laki-laki (pusura) sebagai penerus keturunan, penerus hak dan kewajiban dalam keluarga. Dalam hubungan dengan kemasyarakatan, peran laki-laki dalam struktur kuren di Bali tampak lebih menonjol, yaitu sebagai anggota (krama) banjar dan anggota (krama) desa.[10]
  1. Sistem Perkawinan
    Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting dalam kehidupan orang Bali, karena dengan itu barulah ia dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itulah ia memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompom kerabat.
    Menurut anggapan adat lama yang dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sebisa mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali  itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan orang Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki.[11] Dahulu apabila terjadi perkawinan campuran ( perkawinan antar-kasta yang berbeda), maka mempelai wanita akan dinyatakan keluar dari dadia-nya, dan secara fisik suami-istri akan dihukum diasingkan ke tempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukum semacam itu tidak pernah lagi dijalankan, dan saat ini perkawinan campuran antar-kasta sudah lebih banyak dilaksanakan.
    Lain bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap mendatangkan bencana (panes). Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan sehingga merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawinan antara seorang ayah dengan anaknya, antara seorang dengan saudara kandungnya atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dari saudara perempuan maupun laki-lakinya (keponakannya).[12]
    Pada umumnya, seorang pemuda Bali dapat memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga si gadis, atau dengan cara  melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod). Kedua cara itu berdasarkan adat.[13]
    Adat perkawinan Bali meliputi suatu rangkaian peristiwa-peristiwa seperti kunjungan resmi dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk meminang si gadis atau memberitahukan  kepada mereka bahwa si gadis telah dibawa lari untuk dikawin; upacara perkawinan (masakapan); dan akhirnya lagi suatu kunjungan resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua gadis untuk meminta diri kepada para ruh nenek moyangnya. Di beberapa daerah di Bali ( tidak semua daerah), berlaku pula adat penyerahan mas kawin (patuku luh), tetapi rupa-rupa adat ini sekarang terutama di keluarga-keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.[14]
    Sesudah pernikahan, suami-istri baru biasanya menetap secara virilokal di komplex perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit juga suami-istri baru yang menetap secara neolokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan dimana suami-istri baru itu menetap secara uxorilokal di komplex perumahan dari keluarga si istri (nyeburin). Tempat dimana suami-istri menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Kalau suami-istri tinggal secara virilokal, maka anak-anak mereka dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilinear (purasa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak-anak dan keturunan mereka yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilinear dan menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itru. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai sentna (pelanjut keturunan).

  1. Kesenian
  1. Tarian Adat
  1. Tari Pendet

    Tari Pendet diciptakan oleh dua orang maestro tari Bali yaitu I Wayan Rindi dan Ni Ketut Reneng pada tahun 1950. Pada awalnya tari Pendet merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadah umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Menurut tradisi Bali, para penari Pendet haruslah gadis yang belum menikah, karena dalam tarian tersebut mereka membawa saji-sajian suci untuk para dewa. Namun lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah tari Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern pada tari ini adalah I Wayan Rindi  pada tahun 1967.
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejangyang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangkukendicawan, dan perlengkapan sesajen lainnya. Adapun orkes gamelan yang mengiringi tari Pendet ini ialah gamelan gong, atau gamelan palegongan, atau gamelan semar pagulingan. Tari Pendet merupakan tarian masal yang bisa dibawakan oleh empat penari, enam penari, delapan atau lebih.

  1. Tari Puspanjali

    Puspanjali (puspa = bunga, anjali = menghormat) merupakan sebuah tarian penyambutan yang ditarikan oleh sekelompok penari putri (biasanya antara 5-7 orang). Menampilkan gerak-gerak lembut lemah gemulai yang dipadukan dengan gerak-gerak ritmis yang dinamis, tarian ini banyak mengambil inspirasi dari tarian-tarian upacara Rejang, dan menggambarkan sejumlah wanita yang dengan penuh rasa hormat menyongsong kedatangan para tamu yang datang ke pulau mereka. Tari ini diciptakan oleh N.L.N. Swasthi Wijaya Bandem (penata tari) dan I Nyoman Windha (penata tabuh pengiring) pada tahun 1989.
  2. Tari Baris Tunggal

    Tari Baris merupakan salah satu tarian sakral yang digunakan oleh umat Hindu di Bali sebagai pelengkap di suatu upacara keagamaan agama Hindu di Bali. Sifat sakral dalam tari Baris ialah, bahwa tari ini merupakan sebuah tarian untuk membuktikan kedewasaan seseorang dalam segi jasmani. Kedewasaan seseorang pria dibuktikan dengan mempertunjukkan kemahiran dalam olah keprajuritan yang biasanya disertai dengan kemahiran dalam memainkan senjata perang. Maka dari itu, tari Baris selain merupakan tarian sakral  juga merupakan tari kepahlawanan. Adapun ciri khas dari tari Baris ialah, pertama tari ini lebih menonjolkan ketegapan dan kemantapan dalam langkah-langkah kaki serta kemahiran memainkan senjata perang. Kedua, pakaiannya juga mempunyai corak yang khas, yaitu penutup kepalanya bebebtuk kerucut, dan penutup badannya terdiri dari baji pajang serta hiasan kain-kain kecil panjamg yaitu awir dan lelamakan.
    Tari Baris terbagi menjadi 2 bagian, salah satunya adalah tari Baris Tunggal. Tari baris tunggal merupakan tarian sakral yang digunakan pada saat Upacara Pitra Yadnya yaitu Karya mamukur, dimana disini tari baris tunggal berfungsi sebagai sarana penghatur punia atau persembahan bagi para leluhur yang dihantarkan dengan mantra-mantra suci Sulinggih dan alunan gamelan pengiring tari baris tunggal itu sendiri. Tari baris tunggal merupakan tarian lepas yang dibawakan oleh seorang laki-laki, dimana menggambarkan seorang prajurit gagah perkasa yang memiliki kematangan jiwa dan kepercayaan dimana itu diperlihatkan dengan gerakan tari yang dinamis dan lugas. Berbeda dengan tari Baris Tunggal sakral, tari Baris Tunggal Profan juga biasanya ditampilkan sebagai tari lepas dalam beragam pagelaran seni pertunjukan balih-balihan.
  3. Tari Kecak

    Kecak (pelafalan: /'ke.tʃak/, secara kasar "KEH-chahk", pengejaan alternatif: Ketjak, Ketjack, dan Ketiak), adalah pertunjukan seni khas Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan irama tertentu menyerukan "cak" dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Namun demikian, Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.
    Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti papan catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa.
    Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Selain itu, tidak digunakan alat musik. Hanya digunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana.
    Sekitar tahun 1930-an Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari Kecak berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
  4. Tari Kupu–Kupu Tarum

    Tari Kupu-kupu melukiskan ketentraman dan kedamaian hidup sekelompok kupu-kupu yang dengan riangnya berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain. Tarian ini merupakan tarian putri masal yang diciptakan oleh I Wayan Beratha pada tahun 1960-an.[15]
  5. Tari Barong


    Tari Barong adalah tarian tradisional Bali yang cukup terkenal. Tari Barong ini merupakan warisan kebudayaan sebelum munculnya agama Hindu di tanah dewata. Tarian Tradisional Bali ini ditarikan oleh 2 orang laki-laki, satu bagian kepala dan satunya lagi dibagian ekor, sehingga kelihatanya seperti binatang berkaki empat. 
    Kata barong sendiri berasal dari kata bahruang yang berarti juga beruang, sehingga penampilan badannya besar seperti binatang beruang. Ada bermacam-macam barong seperti barong macan, barong bangkal, barong gajah, barong asu, barong landung, barong blasblasan, barong ket (keket). Tari Barong yang sering ditampilkan pada saat ini adalah barong ket, jenis tari barong ini memiliki kostum dan gerak tari yang lengkap, bentuknya merupakan  perpaduan antara binatang singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, dengan potongan kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari serat daun perasok , ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak, topeng muka barong dibuat dari kayu dengan sumber tempat yang angker dan keramat.
    Tari Barong dipentaskan menggambarkan pertarungan yang sengit antara kebajikan yang disimbolkan denan barong dengan kebatilan yaitu rangda, dan dipentaskan dengan penuh sajian humor

  1. Pakaian Adat
    Pakaian adat Bali merupakan salah satu pakaian adat yang unik dan bervariasi. Pakaian adat Bali memiliki keagungan dan citra tersendiri. Dari pakaian adat yang dikenakan, dapat diketahui status ekonomi dan perkawinannya.
    Pakaian adat Bali dikenakan oleh laki-laki dan perempuan. Setidaknya terdapat tiga jenis pakaian adat yang biasa dikenakan masyarakat Bali. Pertama, pakaian untuk acara keagamaan. Kedua, pakaian untuk acara perkawinan. Ketiga, pakaian untuk sehari-hari. 
    Contohnya pemakaian sanggul oleh perempuan Bali ketika ke pura. Remaja putri memakai sanggul/pusung gonjer sendangkan perempuan dewasa yang sudah menikah mengenakan sanggul/pusung tagel.
    Pakaian adat Bali yang paling mewah adalah Busana Agung. Pakaian ini biasanya dikenakan saat rangkaian acara potong gigi atau perkawinan.

Ada beberapa variasi dari Busana Agung dilihat dari tempat, waktu, dan keadaan. Kain yang digunakan dalam pakain adat Bali yang satu ini adalah wastra wali khusus untuk upacara atau wastra putih sebagai simbol kesucian. Tapi, tak jarang pula kain dalam pakaian adat Bali ini diganti dengan kain songket yang sangat pas untuk mewakili kemewahan atau prestise bagi pemakainya.
Sedangkan untuk kaum laki-laki Bali selain mengenakan kain tersebut sebagai pakaian adat Bali mereka juga mengenakan kampuh gelagan atau biasa disebut dodot yang dipakai hingga menutupi dada.
Sementara, perempuan Bali sebelum mengenakan Busana Agung biasanya menggunakan kain lapis dalam yang disebut sinjang atau tapih untuk mengatur langkah wanita agar terlihat anggun.
Pakaian adat Bali selain mempunyai nilai keindahan, tapi di dalamnya juga tersimpan nilai – nilai  filosofis dan simbolik yang tersembunyi dalam bentuk, fungsi, serta maknanya. Itulah sebabnya dalam pakaian adat Bali dihiasi oleh berbagai ornamen dan simbol yang mempunyai arti tersendiri.
  1. Kelengkapan Pakaian Adat Bali
Kelengkapan pakaian adat Bali terdiri dari beberapa item. Item tersebut antara lain kamen untuk pria, songket untuk pria dan wanita, udeng untuk pria dan sanggul lengkap dengan tiaranya untuk wanita. Di samping itu laki-laki Bali menyematkan keris, sedangkan wanita membawa kipas sebagai pelengkapnya.

Pakaian adat Bali memiliki nilai filosofi yang dalam. Filosofi pakaian adat Bali dalam hampir sama dengan kebanyakan pakaian adat daerah lain dalam beberapa hal, akan tetapi karena Bali juga merupakan salah satu tempat yang sudah mendunia dan disakralkan, maka filosofi pakaian adat Bali kini menjadi penting dalam eksistensinya. Pakaian adat Bali mempunyai standardisasi dalam kelengkapannya.

Pakaian adat Bali lengkap umumnya dipakai pada upacara adat/keagamaan atau upacara perayaan besar. Sedangkan pakaian adat madya dipakai saat melaksanakan ritual sembahyang harian atau saat menghadiri acara yang menggembirakan seperti contohnya ketika pesta kelahiran anak, kelulusan anak, sukses memperoleh panen, atau penyambutan tamu.

Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan yang diyakini memberikan keteduhan, kedamaian dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya.

Setiap daerah memiliki ornamen berbeda yang memiliki arti simbolis dalam pakaian adatnya masing-masing. Meskipun demikian, pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi. Pakaian ini juga seringkali dipakai untuk membedakan tingkat kasta, yang merupakan buatan manusia itu sendiri. Di hadapan Maha Pencipta, manusia semua adalah sama derajatnya. Selain sebagai wujud penghormatan kepada sang pencipta, pakaian adat Bali merupakan suatu bentuk penghormatan kepada pengunjung/tamu yang datang. Ini adalah sesuatu yang umum, mengingat jika anda sebagai tamu maka akan merasa terhormat jika disambut oleh pemilik rumah yang berpakaian bagus dan rapi.[16]

  1. Lagu Daerah
  1. Meong-Meong (Lagu dan Permainan Tradisional Bali)
    Meong-meong merupakan salah satu kebudayaan dari Bali. Kebudayaan yang satu ini berupa lagu sekaligus permainan tradisional yang biasanya dinyanyikan dan dimainkan oleh anak-anak Bali. Lagu Meong-Meong termasuk dalam kategori Sekar Rare atau Gending Rare, yaitu kategori jenis lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Berikut adalah lirik dari lagu meong-meong:
Lirik lagu
artinya
Meong-meong…
Alih je bikule…
Bikul gede gede…
Buin mokoh-mokoh…
Kereng pesan ngerusuhin…
Juk meng…
Juk kul..
Kucing-kucing…
Carilah tikusnya…
Tikus besar-besar…
Juga gemuk-gemuk…
Selalu membuat masalah…
Juk meng…
Juk kul..
Meong-meong merupakan lagu serta permainan anak Bali seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Permainan meong-meong adalah permainan yang biasanya dimainkan oleh lebih dari delapan orang atau lebih, dimana satu orang memerankan bikul (tikus) dan satu orang memerankan meong (kucing) dan yang lainnya bertugas melindungi bikul dari meong dengan cara membentuk lingkaran. Dalam permainan ini, bikul berada di dalam lingkaran sedangkan meong berada di luar lingkaran, dimana meong akan berusaha masuk ke dalam lingkaran dan berusaha menangkap bikul. 

Anak-anak yang bermain dalam permainan ini, membentuk lingkaran dan berusaha menghalangi meong masuk ke dalam lingkaran. Si meong bisa menangkap si bikul ketika lagu sudah pada kata-kata juk meng, juk kul. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa meong-meong adalah lagu sekaligus permainan. Permainan ini dimainkan dengan menyanyikan lagu meong-meong. Lagu ini, tepatnya baris pertama dan baris kedua dinyanyikan dua kali lalu dilanjutkan ke bait yang selanjutnya. Lagu ini terus dinyanyikan hingga berulang-ulang sampai si bikul tertangkap oleh si meong. Jadi dapat dikatakan, permainan ini menggambarkan usaha dari si kucing atau dalam bahasa bali disebut meong untuk menagkap si tikus atau bikul. Berikut adalah gambar mengenai permainan ini:

Cara memainkan permainan meong-meong yang telah diuraikan diatas merupakan cara permainan yang paling banyak digunakan oleh anak-anak Bali. Namun seraya perkembangan jaman, sebagian anak-anak Bali sekarang memainkan permainan ini dengan cara yang berbeda, yaitu berupa anak yang memerankan meong mengejar dan menangkap anak-anak lainnnya dengan mata tertutup, yaitu menggunakan penutup mata dari kain atau sejenisnya. Disini, anak yang tertangkap akan menjadi meong selanjutnya yang mengejar anak-anak lainnya dan seterusnya. Jadi dapat dikatakan bahwa permainan meong-meong ini berbeda di masing-masing daerah di Bali. 
Pada jaman sekarang ini, terutama dibidang politik, lagu dan permainan meong-meong ini sering digunakan untuk menyindir para koruptor. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa dalam meong-meong, bikul atau tikus berbadan besar-besar, suka membuat masalah dan dilindungi atau diperlakuakan baik dalam permainan meong-meong ini. Hal atau situasi ini mirip dengan koruptor yang mana juga berbadan besar yang berarti mengambil banyak uang rakyat, suka membuat masalah dan dilindungi beberapa orang yang mana seharusnya tidak dilindungi dan diperlakukan dengan baik.[17]

  1. Alat Musik Tradisional
  1. Gamelan Bali
    Bali yang kita kenal sebagai pulau dewata juga memiliki gamelan seperti halnya provinsi lain di pulau Jawa. Gamelan sendiri merupakan seperangkat alat musik tradisional yang terdiri dari gong, kendang, kempul dan gambang. Bahan pembuatan gamelan antara lain  terbuat dari logam, menghasilkan suara yang nyaring dan gema yang yang bagus, dipakai dalam upacara agama dan mengiringi tarian.
    Walaupun bisa dikatakan memiliki fungsi yang sama dengan gamelan dari pulau Jawa, akan tetapi bentuk ornamen atau hiasan gamelan Bali menjadi salah satu ciri yang membedakannya.
Gamelan Bali
  1. Rindik
    Rindik merupakan salah satu alat musik tradisional Bali. Alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul tersebut terbuat dari susunan bambu. 
    Terdapat lima nada dasar yang dimiliki oleh Rindik. Rindik biasa digunakan sebagai musik pengiring hiburan rakyat Joged Bumbung. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kini Rindik sudah lebih fleksibel dalam pemakaiannya. Beberapa diantaranya adalah sebagai pelengkap untuk acara pernikahan/resepsi serta dapat pula untuk menyambut tamu.
Alat musik tradisional Bali - Rindik

3.   Ceng-Ceng

Alat musik tradisional Bali selanjutnya disebut dengan Ceng-ceng. Ceng ceng adalah musik yang berbentuk seperti 2 buah keping simbal yang terbuat dari logam, yang dimainkan dengan cara memadukan keping simbal tersebut. Alat musik tradisional Bali yang satu ini dipakai untuk mengiringi gamelan maupun rindik.

Alat musik ceng-ceng dari Bali

4.   Pereret

Alat musik tradisional Pereret dari Bali merupakan alat musik kuno sejenis trompet yang terbuat dari bahan kayu yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi trompet. Alat musik ini banyak dibuat di daerah Jembrana, Bali. Biasanya alat musik ini digunakan untuk mengiringi kesenian Sewo Gati. Cara menggunakan Pereret ini adalah dengan meniup alat tersebut sehingga keluar suara yang sangat merdu dan menawan hati.

Di Bali jaman dahulu dikenal dengan istilah Pereret pengasih asih. Hal ini disebabkan karena biasanya alat ini sering dipakai oleh perjaka untuk mengguna-gunai seorang gadis yang dicintai nya, lalu memainkannya pada malam hari diatas pohon yang tinggi, sehingga suaranya bisa didengar sayup-sayup merdu dari jarak kurang lebih satu kilometer. Sebelum dipakai, alat tersebut terlebih dahulu diisi dengan kekuatan gaib oleh Jero Balian (Dukun) dengan cara memberi sesajen sakral yang dipersembahkan kepada sanghyang pasupati.

Alat musik pereret
  1. Genggong
Genggong merupakan salah satu instrumen getar yang unik yang semakin jarang dikenal orang. Keunikannya terletak pada suara yang ditimbulkannya yang bila dirasakan memberi kesan mirip seperti suara katak sawah yang riang gembira bersahut-sahutan di malam hari. Keunikannya yang lain adalah memanfaatkan rongga mulut orang yang membunyikannya sebagai resonator.
Alat musik tradisonal genggong Bali
Alat musik tradisional Bali ini dibunyikan dengan cara mengulum (yanggem) pada bagian yang disebut “palayah”nya. Jari tangan kiri memegang ujung alat sebelah kiri dan tangan kanan menggenggam tangkai bambu kecil yang dihubungkan dengan tali benang dengan ujung alat di sebelah kanan. Untuk membunyikannya maka benang itu ditarik-tarik ke samping kanan agak menyudut ke depan, tetapi tidak meniupnya. Rongga mulut hanya sebagai resonator, dibesarkan atau dikecilkan sesuai dengan rendah atau tinggi nada yang diinginkan.
Di Bali alat musik Genggong ini semata-mata dipakai sebagai hiburan, misalnya dalam acara perkawinan. Seniman pengrajin pembuat genggong yang masih aktif banyak didapatkan di Desa Batuan, Kabupaten Gianyar, misalnya pada seorang yang bernama I Made Meji. Ada kalanya dibuat sebagai barang “souvenir” yang dijajakan buat para wisatawan.
Bahan untuk membuat genggong adalah pelepah pohon enau yang di Bali disebut “pugoug”. Dipilih yang cukup tua dan kering, lebih diutamakan yang mengering di batangnya sendiri. Dipilih kulit luarnya, dibuat irisan penampang segi empat panjang dengan ukuran lebih kurang 2 cm lebar dan dua puluh cm panjangnya. Bagian dalam yang lunak dibersihkan hingga tinggal luarnya yang keras setebal kira-kira seperempat cm. Palayah atau bagian instrumen yang bergetar terletak di tengah-tengah irisan yang kedua ujungnya berjarak dua cm dari batas ujung penampang irisan. Lebar palayah setengah cm. Palayah terdiri dari badan palayah dan ujung palayah yang berada atau mengarah ke bagian kiri irisan. Ujung palayah ini diusahakan setipis mungkin dengan lebar kira-kira sepuluh mm. Demikian pula bagian badan palayah dibuat tipis, kira-kira 2 cm di bagian atasnya dibuat tetap tebal, yaitu setebal irisan keseluruhan penampang irisan. Selanjutnya pada ujung kanan irisan penampang dibuat lobang tempat tali benang, yang kira-kira panjangnya 5 cm.
Benang itu diikatkan pula pada setangkai bambu bundar yang kecil, sepanjang 10 cm. Waktu membunyikan genggong tangan kanan memegang tangkai tersebut secara vertikal untuk menarik benang hingga palayahnya tergetar.[18]

  1. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
      1. Keris
        Secara historis, keris Bali adalah bagian dari peninggalan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Konon, pengaruh kebudayaan Majapahit sangat kuat sehingga alat peperangan seperti keris diadopsi pula oleh kerajaan-kerajaan di Pulau Dewata. Secara filosofis, keris Bali dipandang sebagai perlambang dari nilai ajaran kehidupan agama Hindu. Bahkan, mereka memiliki hari tertentu untuk bersembahyang saat akan merawat kesucian dari keris pusaka miliknya. Keris juga dipandang sebagai benda yang memiliki estetika di dalam kehidupan masyarakat di sana. Hingga kini keris malah masih dipandang sebagai perlambang kekuatan dan simbol kekuasaan. 
        Biasanya, penganut Hindu yang menyimpan keris pusaka Bali menentukan pembersihan berdasarkan perputaran bulan terhadap bumi. Sedangkan penentuan hari ritual pencucian disesuaikan dengan penanggalan kuno Hindu Bali. Perlakuan terhadap keris pun bersifat sakral. Maklum, keris dianggap memiliki kekuatan magis. Mereka percaya keris adalah manifestasi dari roh para leluhur. Biasanya, keris seperti itu disebut Keris Tayuhan, yang pembuatannya mementingkan tuah ketimbang keindahannya, pemilihan bahan besi, dan pembuatan pamornya. Keris semacam itu biasanya wingit, angker, memancarkan perbawa dan kadang menakutkan. Karena itu, sebagian masyarakat Bali rela bersusah payah untuk sekadar memperoleh keris yang bertuah. 







    1. Wedhung
      Wedhung adalah sebuah senjata genggam berbentuk pisau. wedhung sendiri dimaknai sebagai kesiapan abdi dalem kepada raja yang sedang berkuasa. sementara itu, wedhung terbuat dari logam yang ditempah. sementara hulu pegangan dapat terbuat dari kayu maupun besi. wedhung ternyata tidak hanya dijumpai di Bali melainkan dapat dijumpai juga di Cirebon. perbedaan antara wedhung Bali dan Cirebon adalah pada bilah pisaunya. Wedhung Cirebon cenderung polos sementeara wedhung Bali terdapat motif-motif tertentu. panjang dari wedhung adalah 38 CM. bagi anda yang ingin melihat rupa wedhung bisa langsung datang ke museum Sono Budoyo Yogyakarta.

    2. Tiuk
      Tiuk adalah nama Bali untuk pisau. Tiuk lebih sering dibawa ibu–ibu untuk memasak, membuat sesajen atau sarana upacara, dan sebagainya.[19] 

      Selain ketiga senjata di atas, Bali juga mempunyai senjata lain seperti tombak, taji (semacam pisau kecil), kandik (kapak), caluk, dan arit.





[1] http://baliprov.go.id/id/Geographi. Diakses pada Kamis, 10 Desember 2015 pukul 08.49 wib.
[2] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, ( Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 301.
[3] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia..., hlm. 301-302.
[4] Gatut Murniatmo, dkk., Khazanah Budaya Lokal: Sebuah Pengantar untuk Memahami Kebudayaan Daerah di Nusantara, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 211.
[5] http://www.baliprov.go.id. Diakses pada Kamis, 10 Desember 2015 pukul 12.00 wib.

[6] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesiahlm. 290.
[7] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia hlm. 291-292.
[8] I Nyoman Budiana, Perkawinan Beda Wangsa Masyarakat Bali, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 7.
[9] I Nyoman Budiana, Perkawinan Beda Wangsa..., hlm. 8.
[10] I Nyoman Budiana, Perkawinan Beda Wangsa..., hlm. 8.
[11] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia..., hlm. 294.
[12] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia..., hlm. 294.
[13] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia..., hlm. 295.
[14] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia..., hlm. 295.
[15]http://worldculturepro.blogspot.co.id/. Diakses Rabu, 7 Desember 2015 pukul 10.15 wib.
[18]http://www.tradisikita.my.id/2014/10/5-alat-musik-tradisional-bali.html. diakses senin, 7 Desember 2015. Pukul 08.19 wib.
[19]http://gpswisataindonesia.blogspot.com/2015/06/senjata-tradisional-bali.html. Diakses pada Kamis, 10 Desember 2015 pukul 18.00 wib

0 komentar:

Posting Komentar