- PROFIL MALUKU
Maluku terletak pada 2,30°- 7,30° LS dan
250°-132,30° BT. Provinsi Maluku berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Samudera Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur dan Sumatera
Utara di sebelah tenggara dan Selatan. Luas wilayah provinsi Maluku adalah
581.376 km persegi, luas lautan 527.191 km persegi dan luas daratan 54.185 km
persegi. Bisa dikatakan bahwa 90 % wilayah Maluku adalah lautan. Maluku berasal
dari kata Al Mulk yang berarti tanah raja-raja. [1]
Sejak zaman dahulu, Maluku diakui telah memiliki diakui telah memiliki daya tarik alam selain daripada rempah-rempahnya. Selain itu, ada ratusan kepulauan yang membuat Maluku memiliki keunikan panorama di setiap pulaunya. Turis asing pun tidak ragu untuk mengunjungi bahkan menetap di kepulauan ini. Selain objek wisata alam, beberapa peninggalan zaman colonial juga merupakan daya tarik tersendiri karena masih dapat terpelihara dengan baik hingga sekarang. Suku -suku yang ada di Provinsi Maluku adalah suku Ambon, Kei, Buton dan Banda.[2]
Sejak zaman dahulu, Maluku diakui telah memiliki diakui telah memiliki daya tarik alam selain daripada rempah-rempahnya. Selain itu, ada ratusan kepulauan yang membuat Maluku memiliki keunikan panorama di setiap pulaunya. Turis asing pun tidak ragu untuk mengunjungi bahkan menetap di kepulauan ini. Selain objek wisata alam, beberapa peninggalan zaman colonial juga merupakan daya tarik tersendiri karena masih dapat terpelihara dengan baik hingga sekarang. Suku -suku yang ada di Provinsi Maluku adalah suku Ambon, Kei, Buton dan Banda.[2]
- SISTEM BAHASABahasa daerah Ambon adalah Bahasa Melayu Ambon Bahasa orang Ambon sangat mirip dengan bahasa Jerman , Belanda dan Inggris. Kata yang sering diucapkan setelah menerima sebuah hadiah atau oleh - oleh adalah "Danke", kata ini mirip sekali dengan bahasa Jerman . Kata - kata bahasa Maluku sangat mudah diingat asal kita ingat suku katanya saja ,“Kita” di ambon menjadi “katong” asal kata dari “kita orang”. “Mereka” menjadi “dong” asal kata dari “dia orang”. Untuk kata kepemilikan menggunakan kata “punya” yang disingkat menjadi “pung”, contohnya apabila kita ingin menyebutkan “rumah saya” maka menjadi “beta pung rumah”. Ada beberapa hal yang perlu diingat antara lain, mereka cenderung menyingkat kata, bunyi vokal “e” akan selalu dibaca “e’ “, dan untuk kata yang berakhiran dengan “n” selalu menjadi “ng”. Dengan demikian dapat dipahami kenapa kata “punya” menjadi “pung” dan “pergi” menjadi “pi”, “jangan” menjadi “jang”, “dengan” menjadi “deng”, “teman” menjadi “tamang”, dan “makan” menjadi “makang”. Bercakap-cakap dalam bahasa Maluku “katong pi jua?” atau “ayo katong pi makang, beta su lapar” “epenka” “jang mara”.[3]
- SISTEM PENGETAHUAN
- ArahDalam pembuatan baileu atau rumah tradisional Maluuku harus terdapat jumlah tiang penyangga bangunan yang ada melambangkan jumlah klen yang ada di desa tempat baileu berada.
- Flora dan FaunaFlora khas daerah Ambon adalah Anggrek Larat.Sedangkan fauna khas Ambon adalah burung Nuri Raja Ambon.
- Tempat WisataBeberapa tempat wisata yang patut dikunjungi adalah Pulau Pombo, Masjid Wapaue, Pantai Pintu Kota, Gong Perdamaian Dunia, Monumen Pattimura dan Monumen Patung Marta Cristina.
- SISTEM PERALATAN HIDUP DAN TEKNOLOGI
- Peralatan Hidup Sehari-hariMasyarakat Ambon menggunakan alat seperti jaring, sero, rorehe, bubu, kail untuk menangkap ikan. Untuk menyeberangi lautan mereka menggunakan arumbai, motor tempel, jarring giop, rumpon, tidak lagi kapal nelayan yang biasa atau tradisional.[4]
- Rumah Adat
Baileu
adalah rumah panggung yang beratap kukuh dan besar sehingga menutupi sebagian
badan rumah yang seolah-olah berkesan memberi perlindungan pada rumah dan
segala isinya. Atapnya dibuat dari rumbia, sedangkan dindingnya terbuat dari tangkai rumbia yang
disebut gaba-gaba. Aslinya Baileu tidak berdinding, maksudnya agar roh nenek
moyang mereka dapat bebas masuk keluar bangunan tersebut. Letak lantai umumnya
dibuat tinggi agar kedudukan tempat bersemayam roh-roh nenek moyang lebih
tinggi dari tempat rakyat desa. Fungsi baileu adalah sebagai tempat
bermusyawarah dan bertemunya rakyat dengan dewan rakyat atau dewa negeri.
Selain itu juga digunakan sebagai pusat religi masyarakat.[5]
Di
dalam baileu biasanya diletakkan benda-benda pusaka antara lain meja,
kursi, tempayan kuno, meriam kuno, tombak dll. seiring dengan adanya
kepercayaan bahwa leluhur pendiri negeri menghuni baileu. Pada
bagian samping baileu diletakkan batu pemali yang dianggap
keramat, dan yang memberikan indikasi mengenai orientasi suatu negeri terhadap
salah satu kelompok sosial patasiwa atau patalima. Pada negeri-negeri
tertentu, batu pemali tersebut dinamakan juga batu teon, yang
menunjuk pada klen leluhur pendiri negeri tersebut. Pada masa lampau,
setiap baileu memiliki nama khusus yang setiap kali diucapkan dalam
upacara oleh orang tertentu yang telah diberi kuasa untuk itu. Kesakralan
kedudukan baileu sering disamakan dengan tempat-tempat ibadah seperti
gereja dan masjid. Baileu yang tidak dipelihara dengan baik dan tidak
diperbaiki ketika mengalami kerusakan, diyakini akan mendatangkan malapetaka
bagi seisi negeri.
- Senjata Tradisional
Senjata
tradisional yang terkenal di Maluku adalah parang Salawaku. Parang dan salawaku memiliki arti tersendiri. “Parang” berarti pisau besar namun
biasanya memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari pisau dan lebih pendek dari
pedang. “Sawalaku” sendiri memiliki
arti perisai. Panjang parang antara 90-100 cm,
sedangkan hiasannya motif-motif yang melambangkan keberanian. Parang terbuat
dari besi. Kepala parang terbuat dari kayu keras, seperti kayu besi atau kayu
gapusa.
Parang
bertindak sebagai senjata. Parang ini dipergunakan sebagai senjata untuk
melakukan penyerangan terhadap lawan. Sedangkan, sawalaku digunakan sebagai perisai
yang berfungsi untuk menahan serangan lawan.
Apabila hari
ini Parang Salawaku digunakan untuk melengkapi pakaian penari atau upacara
perkawinan, pada zaman dahulu senjata ini juga digunakan untuk berperang dan
berburu binatang di hutan. Khususnya berperang, parang salawaku digunakan
ketika perang Kapitan Pattimura melawan pemerintah kolonial Belanda.
Selain
parang salawaku ada juga jenis senjata lain seperti nganga atau yuk nganga (tombak),
ngir atau nger (parang biasa), yok
(bambu runcing) dan temar yubil (panah).
[6]
- Pakaian Adat
- Pakaian Baju Cele Kain Salele
Baju cela ini bermotif garis-garis
geometris/berkotak-kotak kecil. Baju cele dipakai pada upacara-upacara adat.
Baju cele dan kain salele. Yang atas itu namanya baju cele (baju dan dibahu kain
pikul) kain kebaya dan kain salele di pinggang. Biasanya jujaro/nona/gadis yang
memakai diberi istilah nona baju cele kaeng/kain salele. Kalau seorang ibu
(sudah kawin), diberi istilah Nyora baju cele kain salele. Pada umumnya busana ini
memiliki corak warna ceria/berani (kebanyakan merah), karena memiliki nilai keceriaan
dan kecekatan. Baju cele ini biasanya dikombinasikan dengan kain sarung yang
warnanya tidak terlalu jauh berbeda, harus seimbang dan serasi. Baju cele ini
dipakai juga dalam upacara- upacara adat (acara pelantikan raja, acara cuci
negeri, acara pesta negeri, acara panas pela dll.) dan di kombinasi dengan kain
yang pelekat yang disalele yaitu disarung dari luar dilapisi sampai batas lutut
dan dipakai lenso (sapu tangan yang diletakan di pundak). Pakaian ini dipakai
tanpa pengalas kaki atau boleh juga pakai selop. Konde/sanggul yaitu konde
bulan yang diperkuat lagi dengan tusukan konde yang disebut haspel yang terbuat
dari emas atau perak.[7]
- Baju Nona Rok dan Baju PerkawinanBaju Nona Rok
Kebaya putih tangan panjang berlengan kancing dari
jenis kain Brokar halus. Pengikat pinggang terbuat dari perak yang disebut
pending. Sepatu vantovel hitam dan berkaos kaki putih. Rok dibuat/dijahit lipit
kecil sekali dari jenis kain motif kembang kecil-kecil warna merah atau orange
Pakaian
Pengantin
Baju berwarna putih, berlengan panjang dari kain
brokar yang harus dan ada variasi motif renda kecil. Baju ini motif baju cele
leher bundar terbelah pada leher. Pada bagian tangan kancing dari baju tersebut
ditutup dengan band tangan yang divariasi dengan manik- manik warna emas dan
pada bagian kiri pakaian tersebut akan disisipkan lenso pinggang yang terbuat
dari sisa kain jenis brokar tadi dan divariasi dengan renda : sedang yang
dipegang oleh pengantin disebut lenso tangan terbuat dari kain putih yang
dibordir.
Cole
Cole ini dipakai pada bagian dalam dari baju modern
tadi. Cole yaitu baju dalam atau lebih dikenal istilah kutang, yang dipakai/dikenakan
sebelum memakai baju/kebaya. Cole ini berlengan panjang tapi ada juga yang
berlengan sampai ke sikut dan pada bagian atasnya diberi renda. Cole ini
terbuat dari kain putih sedangkan bagian belakang yang lebih dikenal dengan
istilah belakang cole itu juga dibordir. Bagian depan cole ini memakai kancing.
Kain pengantin terbuat dari kain saten merah atau juga beludru merah. Kain ini
menarik karena dihiasi dengan manik- manik warna emas pada bagian kain
tersebut, dan pada kaki dari kain tersebut diberi renda warna emas. Tali kaeng diikat pada kain pengantin
agar tidak terlepas. Pada tali kaeng ini juga diberi renda. Mistiza Mistiza ini
berbentuk huruf U panjangnya ± 60 cm mistiza ini dipakai dari depan ke
belakang, berwarna merah diberi manik-manik dan diberi renda emas. Memakai
kalung motif mutiara besar Anting-anting/giwang. Cenela adalah sejenis slop yang dibuat dari kulit. Ujung slop atau
bagian atas cenela dilapisi dengan kain beludru yang dihiasi oleh hiasan
bunga-bunga kecil yang dinamakan Laborcis yang berwarna keemasan, dipakai dengan
kaos kaki warna putih. Sanggul dihiasi dengan sosoboko yaitu kembang lingkar
konde yang disebut bunga ron yang dibuat dari papeceda dengan 9 buah kembang goyang
atau 7 bauh sebagai lambang Patasiwa dan terbuat dari emas dan tusuk konde yang
disebut nano-nano dan juga sisir konde/sanggul, berwarna keemasan. Kalau pengantin yang masih gadis diberi renda
hitam disebut pokis dibuat dari kain
saten/renda gigi anjing ditaruh di atas dahi di depan konde.
Pakaian Pengantin Laki-Laki terdiri dari Kebaya dansa
dipakai pada bagian luar berwarna merah, tanpa kancing berlengan panjang,
dipakai hiasan renda, warna keemasan pada pinggiran kebaya dansa. Kain untuk
kebaya dansa yaitu saten atau beludru merah. Baniang putih dipakai pada bagian
dalam dari kebaya dansa pakai kancing warna emas, dengan baniang leher bundar,
kain yang dipakai adalah jenis kain saten. Baniang juga berlengan panjang. Band
Pinggang berwarna merah diikat pada bagian dalam dari kebaya dansa, pada pinggiran
band pinggang dipakai renda keemasan dan variasi manik-manik emas dan memakai celana
panjang hitam dan sepatu hitam. Sketsa Busana Mustiza/ yang dikenal dengan Baju
Basumpa.[8]
- Baniang Putih dan Kebaya Dansa
- Kebaya putih Tangan Panjang dan Kain Silungkang dan Kebaya Hitam Gereja[9]
- SISTEM EKONOMI DAN MATA PENCAHARIAN HIDUP
Perekonomian masyarakat Ambon
didominasi oleh sektor pertanian, selain bertani, masyarakat Ambon memburu babi
hutan, rusa dan burung kasuari dengan menggunakan jerat dan lembing. Hampir semua masyarakat Ambon juga bisa
menangkap ikan. Pada sektor pertanian, orang Ambon akan membuka sebidang tanah di
hutan, kemudian menebang pohon-pohon dan membakar batang-batang dan dahan-dahan
yang telah kering. Ladang-ladang yang dibuka dengan cara demikian hanya diolah
sedikit dengan tongkat, kemudian ditanami tanpa irigasi dengan kacang-kacangan
dan ubi-ubian. Misalnya ada sagu, kentang, padi, tebu, jagung, tembakau,
cengkih dan buah-buahan. Bila hasil panen berlebih maka penduduk akan menjualnya
dimana hasil panen itu digunakan untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari.
Kemudian masyarakat Ambon yang mata pencahariannya menangkap ikan, mereka
menggunakan kail yang amat sederhana atau dengan menggunakan kait, harpun [10]
- SISTEM KEMASYARAKATAN DAN ORGANISASI SOSIAL
- Hubungan Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Ambon
berdasarkan hubungan patrilineal, yang diiringi dengan pola menetap patrilokal.
Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih, adalah
matarumah atau fam, yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal.
Matarumah merupakan kesatuan dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan
para isteri dari laki-laki yang telah kawin. Dengan kata lain matarumah
merupakan satu klen kecil patrilineal. Matarumah penting dalam hal mengatur
perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan
tanah-tanah dati yaitu tanah milik kerabat patrilineal.
Perkawinan menurut adat merupakan urusan
dari dua kelompok kekerabatan yaitu matarumah dan family yang ikut menentukan
dalam fungsi penyelenggaraan dari
perkawinan itu. Perkawinan disini sifatnya exogami, yaitu seseorang
harus kawin dengan seseorang diluar klennya. Mereka mengenal tiga macam cara
perkawinan yaitu kawin lari, kawin minta
dan kawin masuk. Kawin lari atau lari bini adalah sistem kawin lari yang
lazim dilakukan oleh orang Ambon-Maluku. Lari bini ditempuh untuk menghindari
prosedur perkawinan yang dianggap rumit oleh yang bersangkutan. Perkawinan ini
dianggap atau dipandang kurang baik dan tidak diinginkan oleh pihak kerabat
gadis. Sedang bagi pihak kaum kerabat pemuda perkawinan ini sangat diinginkan
untuk menhindari kekecewaan pemuda bila lamarannya ditolak serta menghindari
kecemasan dalam menunggu syarat-syarat perkawinan yang akan ditentukan oleh
pihak keluarga gadis. Seringkali lari bini justru disarankan oleh pihak orang
tua gadis untuk menyingkat waktu dan mengurangi harta kekayaan yang harus
dikeluarkan.[11]
Selain itu, masyarakat Ambon juga mengenal dua
macam upacara adat sebelum melaut yakni upacara turun perahu baru dan upacara turun jaring baru. Upacar ini
dilakukan di atas perahu di pinggir pantai. Upacara ini mengundang 8-20 orang
tergantung bsear kecilnya perahu. Dalam upacara ini disediakan makan dan
minuman dan pembacaan doa dari tokoh agama. Tujuannya adalah untuk terhindarnya
perahu dari marabahaya dan perahu itu dapat memperoleh hasil yang banyak serta
menghindarkan dari roh-roh halus yang mengganggu. Untuk upacara turun jaring
baru hanya berbeda tempat pelaksanaannya, yakni di rumah pemilik jaring.
- Organisasi Sosial
Selain perkawinan, ada peran-peran di
dalam masyarakat menurut klen atau mataruma
yang ada di dalam negeri sesuai fungsi masing-masing mataruma.
Peran-peran yang dimainkan itu dapat dilihat ketika masyarakat suatu negeri akan
mendirikan atau memperbaiki baileu. Dalam mendirikan atau memperbaiki baileu,
masing-masing mataruma berhak dan berkewajiban untuk mengerjakan bagian
tertentu dari baileu misalnya mendirikan tiang, mengatapi dan
sebagainya. Dengan demikian, baileu memperlihatkan keutuhan dari suatu negeri.
Terdapat ritual khusus pada
baileu yang disebut upacara Cuci Negeri dimana warga desa wajjib
membersihkan segala sesuatu dengan baik misalnya balai desa, rumah, pekarangan
lalu diadakan pesta makan, minum dan bersuka ria. Tujuannya adalah untuk
menjauhkan unsur-unsur buruk dari negeri, meminta perlindungan kepada nenek
moyang, serta memperkuat kembali ikatan sosial yang damai antara keluarga yang
ada di dalam negeri tersebut.[12]
Berbicara
mengenai Organisasi-organisasi
Desa, terdapat beberapa jabatan dalam
administrasi desa adalah kepala desa (raja) suatu jabatan yang dulu turun
temurun, tetapi sekarang secara resmi harus dipilih oleh rakyat, kepala adat
yang dianggap menguasai suatu bagian
desa (aman) dan kepala bagian desa (kepala soa). Kecuali itu masih ada
pejabat-pejabat lain seperti : ahli adat mengenal hukum adat tanah dan
soal-soal warisan tanah (tuan tanah), seorang
pejabat adat yang dulu meruapakan panglima perang (kapitan), polisi kehutanan
(kewang) dan penyiar berita di desa (marinyo). Semua pejabat-pejabat
pemerintahan desa tersebut tergantung ke dalam suatu dewan desa, bernama badan
saniri negeri, atau saniri saja.
Raja adalah jabatan kepala desa di
Ambon, Maluku yang bertugas mengurusi beberapa masalah yang berhubungan dengan
administrasi desa. Jabatan raja tersebut diperoleh dengan cara turun temurun,
tetapi saat ini jabatan raja diperoleh dengan cara pemilihan rakyat. Jabatan
raja sering merupakan suatu jabatan adat, sedangkan untuk menjalankan
pemerintahan desa yang sungguh-sungguh dilaksanakan oleh kepala soa secara
bergiliran. Walaupun sekarang harus dipilih, tetapi dalam kenyataan masih ada
juga yag mendapat jabatannya karena keturunan, atau karena kewargaannnya di dalam
klen yang secara adat berhak memegang pimpinan. Demikian raja memang sering
masih merupakan suatu jabatan adat, sedangkan pemerintahan desa yang
sungguh-sungguh dilakukan oleh kepala-kepala soa secara bergilir.[13]
Berikut adalah beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan
sosial masyarakat Suku Ambon :
- Tuan tanah : Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
- Kapitan : Seseorang yang ahli dalam peperangan
- Kewang: Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
- Marinyo : Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. [14]
Suatu
ciri menyolok dari masyarakat pedesaan di Maluku adalah adanya banyak
organisasi-organisasi adat dengan tujuan dan fungsi sosial tertentu dalam
kehidupan masyarakat. Terutama di dalam masyarakat desa-desa di Ambon dan Seram,
organisasi-organsasi dalam masyarakat serupa itu telah tumbuh dengan subur. Salah
satu contoh adalah organisasi patasiwa dan
patalima, yang merupakan suatu
organisasi untuk menghimpun kekuatan politik dan merupakan suatu organisasi
kemiliteran. Istilah patasiwa berati
Sembilan bagian dan patalima berati lima bagian. Suatu desa/negeri masuk dalam kelompok patasiwa atau patalima,
jika jumlah benda-benda yang digunakan dalam ritual masing-masing berjumlah
sembilan atau kelipatan sembilan untuk patasiwa,
dan jumlah lima atau kelipatan lima untuk patalima. Hal yang sama
terlihat pula pada arsitektur baileu, sebuah tempat pertemuan yang
dianggap sakral tempat upacara-upacara negeri sering dilakukan, misalnya
upacara pengangkatan dan pelantikan Raja. Dalam jurnal karya Jacob Duyvendak
menyebutkan bahwa posisi batu pemali yang lazim diletakkan di samping baileu
menjadi pembeda antara patasiwa dan patalima. Apabila batu
pemali menghadap ke gunung atau ke darat, maka negeri tersebut
termasuk dalam kelompok patalima. Sebaliknya, jika batu pemali
yang menghadap ke laut atau ke pantai mencerminkan ciri negeri
patasiwa.[15]
Di desa-desa Ambon ada juga
organisasi masyarakat yang terdiri dari pemudi-pemudi yang sudah dewasa tapi
yang belum kawin. Organisasi-organisasi ini disebut jojaro.Selain itu ada perkumpulan pemuda-pemuda yang belum kawin
dinamakan ngungare.Organisasi lain
yang amat penting terutama dalam masyarakat pedesaan di Ambon, adalah
organisasi pela. Ini adalah persatuan-persatuan persahabatan antara warga-warga
dari dua desa atau lebih yang berdasarkan adat. Anggota-anggota dari organisasi
serupa itu mempunyai pelbagai kewajiban
satu terhadap yang lain, tetapi juga bisa mengharapkan bantuan spontan dari
sesama anggota organisasi dalam keadaan bahaya atau kesusahan. Pada dasarnya
ada dua macam pela, yaitu pela keras (atau pela tulen, atau pela minum darah)
dan pela tempat sirih.
Suatu bentuk organisasi masyarakat
yang juga ada di semua desa adalah muhabet,
yaitu suatu organisasi masyarakat yang mengurus segala keperluan yang
berhubungan dengan kematian. Anggotanya ialah para kerabat dan warga satu desa.
Disamping pemimpin desa dan kepala-kepala adat, orang Ambon juga mengenal
adanya pemimpin-pemimpin agama, ialah agama nasrani, islam, dan agama asli. Di
desa-desa yang menganut agama nasrani maka pendeta atau pemuka lain yang
diangkat oleh sinagod Gereja Maluku-lah, yang menduduki tempat tertinggi pada
kongregasi (umat agama dari suatu desa). Demikian halnya pula dengan seorang
Imam, yang merupakan pemimpin agama yang juga sederajat kedudukannya dengan
kepala desa dalam sebuah desa yang beragama Islam. Pemuka-pemuka agama Nasrani
dan Islam tadi, sebenarnya menggantikan peranan pemuka agama asli yaitu mauwena, yang dulu merupakan perantara
antara dunia ini dengan dunia roh nenek moyang dan dunia gaib.[16]
- Upacara Adat
- Cuci Negeri
Upacara ini dimaksudkan untuk
membersihkan segala sesuatu yang ada dalam masyarakat. Bangunan yang harus
dibersihkan antara lain baileu, tempat pertemuan yang dianggap suci atau keramat,
rumah-rumah dan pekarangan. Apabila upacara ini tidak dilakukan dengan baik
akan terjadi bencana pada kehidupan masyarakat pedesaan Ambon, misalnya panen
gagal dan terjangkitnya wabah penyakit. Upacara ini bertujuan menghidupkan rasa
hubungan dengan nenek moyang yang dianggap telah membangun baileu,
sumber-sumber air, tempat-tempat suci lainnya. Tujuan lainnya menghidupkan
struktur sosial dan kepemimpinan adat yang merupakan dasar kehidupan masyarakat
desa serta untuk mengintensifkan rasa solidaritas masyarakat setempat.[17]
- Upacara Turun Perahu Baru dan Upacara Turun Jaring BaruUpacara Turun Perahu dilakukan di atas perahu di pinggir pantai yang dipimpin oleh tokoh agama. Pada upacara ini disediakan makan dan minuman dan yang paling penting adalah pembacaan doa dari tokoh agama. Tujuan utamanya adalah terhindarnya perahu dari marabahaya dan dengan perahu itu dapat memperoleh hasil tangkapan yang banyak serta menghindarkan dari roh-roh halus yang mengganggu. Untuk upacara turun jaring hampir sama dengan upacara turun perahu baru bedanya tempat pelaksanaannya yakni di rumah pemilik jaring. [18]
- Upacara Pukul Sapu
Upacara ini dilakukan pada tanggal
7 syawal (perhitungan kalender Hijriah atau
kalender Islam) untuk mengenang
perjuangan Achmad Leakawa atau lebih dikenal dengan nama kapiten Perang
Telukabessy yang rela berkorban menyelamatkan anak buahnya dengan menyerahkan
diri sehingga pasukannya selamat dari serangan pasukan Belanda. Beliau sendiri
akhirnya dijatuhi hukuman
mati oleh Belanda.
- KESENIAN
- Lagu DaerahLagu daerah di Ambon yakni Ambon Manise, Burung Kakatua, Shio Mama, Rasa Sayange, Kole-Kole, O Ulate dan lainnya. Penulis mengambil satu lagu daerah untuk mengetahui makna dibalik lagu tersebut. Lagu terssebut adalah “Rasa Sayange”. Rasa Sayange memiliki makna yang sangat mendalam. Berikut adalah lirik lagu Rasa Sayange :RefrainRasa sayange...rasa sayang sayange...Eeee lihat dari jauh rasa sayang sayangeMana kancil akan dikejar, ke dalam pasar cobalah cari...Masih kecil rain belajar, sudah besar senanglah diriSi Amat mengaji tamat, mengaji Qur’an di waktu fajar...Bila lambat asal selamat, tak kan lari gunung dikejarKalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandiKalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagiPada refrain terdapat penekanan agar kita memahami rasa sayang. Rasa sayang tersebut akan terlihat dari jauh (berbicara tentang jarak) yang menciptakan kerinduan. Pada bait pertama tentang pentingnya belajar di masa kecil agar kehidupan di masa mendatang bahagia. Bait kedua adalah nasihat agar tidak terburu-buru dalam melakukan sesuatu, kata lambat tidak dimaknai sebagai tindakan yang teliti dan cermat. Seperti dalam mengaji Al Quran, yang dicari bukanlah kecepatan untuk tamat melainkan pemahaman yang utuh kata demi katannya. Bait kedua ini bermakna tentang pentingnya proses, jarak tempuh dalam menggapai tujuan. Bait ketiga berbicara soal arak secara ruang, perpisahan dan pertemuan secara badani. Dapat dimaknai bahwa setiap pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. [19]
- Tarian Daerah
- Tari KatrejiTari yang menggambarkan kegembiraan masyarakat pada saat diadakannya pesta-pesta besar. Gerakan tari ini sangat variatif dan berkesan riang.
- Tari Suhu Reka-rekaTarian ini dilakukan ketika terang bulan. Penari pria dan wanita melompat diantara gerakan gaba-gaba atau bambu yang dipukul-pukulkan menurut irama musik.
- Tari PondangoTari pergaulan yang dibawakan sebagai hiburan untuk memeriahkan pesta perkawinan atau pesta lainnya.
- Tari CakaleleTarian ini disebut juga tari perang yang diperagakan oleh pria dewasa sambil memegang parang salawaku.
- Tari AngkosiTarian ini ditampilkan dalam upacara-upacara penting seperti peresmian negeri atau desa baru dan penobatan serta penyambutan tamu agung.
- Tari Bambu GilaTarian ini mengandung unsur mistik. Tarian ini menggambarkan identitas masyarakat Maluku yang menunjung tinggi semangat gotong royong dalam kehidupan sosial.[20]
- Seni Musik
- Hio-hioLagu untuk menghormati para leluhurnya atau tamu yang dihormati sekaligus mengiringi tarian adat.
- Manise-maniseLagu berbalas pantun yang isi pantunnya disesuaikan dengan suasana dan nyanyian ini sekaligus sebagai pengiring tarian.
- Lembe-lembeNyanyian bersama yang berkaitan dengan usaha mencari ikan di laut.
- Hia hoi karaleleLagu untuk berperang dengan iringan musik tifa (seperti gendang) dan totobuang (gong kecil). Ada juga alat musik tiup yakni kulit bia (kulit kerang) dan alat musik ukulele.[21]
- SISTEM KEPERCAYAAN ATAU AGAMA
Lambang Maluku berbentuk perisai
bersudut tiga, yang di dalamnya terdapat lukisan daun sagu dan daun kelapa,
mutiara, pala dan cengkih, tombak, gunung, laut dan
perahu. Sagu adalah sumber kehidupan
dan makanan pokok daerah Maluku. Kelapa adalah hasil bumi Maluku. Mutiara adalah hasil alam khas Maluku. Tombak sebagai simbol ksatria. Gunung merupakan simbol kekayaan hasil hutan yang berlimpah. Laut dan perahu adalah simbol persatuan dan kesatuan yang kekal dan abadi. Dalam lambang , terdapat
motto daerah bertuliskan siwa lima yang artinya milik
bersama.
Pada masa sebelum islam dan nasrani
masuk ke Maluku, khususnya di Ambon, mereka menganut sistem kepercayaan animistis. Mereka percaya pada
makhluk-makhluk halus yang baik (upu ama) dan yang ahat (lita). Roh leluhur
bersifat melindungi kehidupan sesuai dengan norma-norma adat, sebaliknya
melanggar hukum bila dilanggar. Ada juga benda-benda pusaka yang dianggap
memiliki unsur gaib, misalnya kain merah dapat melindungi orang dari penyakit
dan bahaya.[22]
[1]http://amadeaeninette.tumblr.com/post/502732791/anthropology-kebudayaan-masyarakat-maluku,
pada
tanggal 18 November 2015
[2]R. Rizky
Wibisono, Mengenal Seni dan budaya
Indonesia (Jakarta: Penebar Swadaya, 2013), hal.119-122
[3] http://sulfiana.student.unidar.ac.id/2013/06/unsur-unsur-kebudayaan-maluku-ambon.html, diunduh pada tanggal 19 November
2015
[4]http://amadeaeninette.tumblr.com/post/502732791/anthropology-kebudayaan-masyarakat-maluku,
diunduh
pada tanggal 18 November 2015
[5]http://amadeaeninette.tumblr.com/post/502732791/anthropology-kebudayaan-masyarakat-maluku,
diunduh
pada tanggal 18 November 2015
[6]http://amadeaeninette.tumblr.com/post/502732791/anthropology-kebudayaan-masyarakat-maluku,
diunduh
pada tanggal 18 November 2015
[7]http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbambon/wp-content/uploads/sites/27/2015/03/Di-Publikasikan-Pada-Jurnal-Peneltian-Vol-7-Nomor-5.-Edisi-November-2013-Untuk-Mendapatkanya-Silakan-Download-di-sini.pdf
, diunduh pada tanggal 20 November 2015
[8]http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbambon/wp-content/uploads/sites/27/2015/03/Di-Publikasikan-Pada-Jurnal-Peneltian-Vol-7-Nomor-5.-Edisi-November-2013-Untuk-Mendapatkanya-Silakan-Download-di-sini.pdf
, diunduh pada tanggal 20 November 2015
[9]http://www.ambon.go.id/pakaian
-adat/, diunduh pada tanggal 19 November 2015
[10]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta:
Djambatan, 2010), hal.176-177
[11]Gatut Murniatmo
dkk, Khazanah Budaya Lokal (Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2000), hal.100
[12] http://amadeaeninette.tumblr.com/post/502732791/anthropology-kebudayaan-masyarakat-maluku, diunduh
pada tanggal 19 November 2015
[13]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta:
Djambatan, 2010), hal.177-181
[14]http://dokumen.tips/dokuments/kebudayaan-ambon-558f33069afdd.html,
diunduh
pada tanggal 17 November 2015
[15]Jacob W. Ajawaila, Jurnal Orang Ambon dan
Perubahan Kebudayaan 1 (Ambon: Universitas Pattimura, 2000),
hal.17-20
[16]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta:
Djambatan, 2010), hal.181-185
[17]Gatut
Murniatmo dkk, Khazanah Budaya Lokal (Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2000), hal..40
[18] http://amadeaeninette.tumblr.com/post/502732791/anthropology-kebudayaan-masyarakat-maluku,
diunduh
pada tanggal 18 November 2015
[19]http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/862/rasa-sayange, diunduh pada tanggal 14 November 2015
[20]https://www.academia.edu/9728286/PEMERTAHANAN_TARIAN_BAMBU_GILA_PERAN_PAWANG_DAN_MANTRA_Oleh_Helmina_Kastanya_,
diunduh pada tanggal 20 November 2015
[21]http://amadeaeninette.tumblr.com/post/502732791/anthropology-kebudayaan-masyarakat-maluku,
diunduh
pada tanggal 18 November 2015
[22]http://amadeaeninette.tumblr.com/post/502732791/anthropology-kebudayaan-masyarakat-maluku,
diunduh
pada tanggal 18 November 2015
0 komentar:
Posting Komentar