Kebudayaan Maluku

Kamis, 21 Januari 2016


  1. PROFIL MALUKU

Maluku terletak pada 2,30°- 7,30° LS dan 250°-132,30° BT. Provinsi Maluku berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudera Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan Selatan. Luas wilayah provinsi Maluku adalah 581.376 km persegi, luas lautan 527.191 km persegi dan luas daratan 54.185 km persegi. Bisa dikatakan bahwa 90 % wilayah Maluku adalah lautan. Maluku berasal dari kata Al Mulk yang berarti tanah raja-raja. [1]
Sejak zaman dahulu, Maluku diakui  telah memiliki diakui telah memiliki daya tarik alam selain daripada rempah-rempahnya. Selain itu, ada ratusan kepulauan yang membuat Maluku memiliki keunikan panorama di setiap pulaunya. Turis asing pun tidak ragu untuk mengunjungi bahkan menetap di kepulauan ini. Selain objek wisata alam, beberapa peninggalan zaman colonial juga merupakan daya tarik tersendiri karena masih dapat terpelihara dengan baik hingga sekarang. Suku -suku yang ada di Provinsi Maluku adalah suku Ambon, Kei, Buton dan Banda.[2]

  1. SISTEM BAHASA
    Bahasa daerah Ambon adalah  Bahasa Melayu Ambon Bahasa orang Ambon sangat mirip dengan bahasa Jerman , Belanda dan Inggris. Kata yang sering diucapkan setelah menerima sebuah hadiah atau oleh - oleh adalah "Danke", kata ini mirip sekali dengan bahasa Jerman . Kata - kata bahasa Maluku sangat mudah diingat asal kita ingat suku katanya saja ,“Kita” di ambon menjadi “katong” asal kata dari “kita orang”. “Mereka” menjadi “dong” asal kata dari “dia orang”. Untuk kata kepemilikan menggunakan kata “punya” yang disingkat menjadi “pung”, contohnya apabila kita ingin menyebutkan “rumah saya” maka menjadi “beta pung rumah”. Ada beberapa hal yang perlu diingat antara lain, mereka cenderung menyingkat kata, bunyi vokal “e” akan selalu dibaca “e’ “, dan untuk kata yang berakhiran dengan “n” selalu menjadi “ng”. Dengan demikian dapat dipahami kenapa kata “punya” menjadi “pung” dan “pergi” menjadi “pi”, “jangan” menjadi “jang”, “dengan” menjadi “deng”, “teman” menjadi “tamang”, dan “makan” menjadi “makang”. Bercakap-cakap dalam bahasa Maluku “katong pi jua?” atau “ayo katong pi makang, beta su lapar” “epenka” “jang mara”.[3] 

  2. SISTEM PENGETAHUAN

  1. Arah
    Dalam pembuatan baileu atau rumah tradisional Maluuku harus terdapat jumlah tiang penyangga bangunan yang ada melambangkan jumlah klen yang ada di desa tempat baileu berada.
  2. Flora dan Fauna
    Flora khas daerah Ambon adalah Anggrek Larat.

    Sedangkan fauna khas Ambon adalah burung Nuri Raja Ambon.

  3. Tempat Wisata
    Beberapa tempat wisata yang patut dikunjungi adalah Pulau Pombo, Masjid Wapaue, Pantai Pintu Kota, Gong Perdamaian Dunia, Monumen Pattimura dan Monumen Patung Marta Cristina.


                                               

  1. SISTEM PERALATAN HIDUP DAN TEKNOLOGI

  1. Peralatan Hidup Sehari-hari
    Masyarakat Ambon menggunakan alat seperti jaring, sero, rorehe, bubu, kail untuk menangkap ikan. Untuk menyeberangi lautan mereka menggunakan arumbai, motor tempel, jarring giop, rumpon, tidak lagi kapal nelayan yang biasa atau tradisional.[4]
  2. Rumah Adat

Baileu adalah rumah panggung yang beratap kukuh dan besar sehingga menutupi sebagian badan rumah yang seolah-olah berkesan memberi perlindungan pada rumah dan segala isinya. Atapnya dibuat dari rumbia, sedangkan  dindingnya terbuat dari tangkai rumbia yang disebut gaba-gaba. Aslinya Baileu tidak berdinding, maksudnya agar roh nenek moyang mereka dapat bebas masuk keluar bangunan tersebut. Letak lantai umumnya dibuat tinggi agar kedudukan tempat bersemayam roh-roh nenek moyang lebih tinggi dari tempat rakyat desa. Fungsi baileu adalah sebagai tempat bermusyawarah dan bertemunya rakyat dengan dewan rakyat atau dewa negeri. Selain itu juga digunakan sebagai pusat religi masyarakat.[5]

Di dalam baileu biasanya diletakkan benda-benda pusaka antara lain meja, kursi, tempayan kuno, meriam kuno, tombak dll. seiring dengan adanya kepercayaan bahwa leluhur pendiri negeri menghuni baileu. Pada bagian samping baileu diletakkan batu pemali yang dianggap keramat, dan yang memberikan indikasi mengenai orientasi suatu negeri terhadap salah satu kelompok sosial patasiwa atau patalima. Pada negeri-negeri tertentu, batu pemali tersebut dinamakan juga batu teon, yang menunjuk pada klen leluhur pendiri negeri tersebut. Pada masa lampau, setiap baileu memiliki nama khusus yang setiap kali diucapkan dalam upacara oleh orang tertentu yang telah diberi kuasa untuk itu. Kesakralan kedudukan baileu sering disamakan dengan tempat-tempat ibadah seperti gereja dan masjid. Baileu yang tidak dipelihara dengan baik dan tidak diperbaiki ketika mengalami kerusakan, diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi seisi negeri.



  1. Senjata Tradisional

Senjata tradisional yang terkenal di Maluku adalah parang Salawaku. Parang dan salawaku memiliki arti tersendiri. Parang berarti pisau besar namun biasanya memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari pisau dan lebih pendek dari pedang. “Sawalaku” sendiri memiliki arti perisai. Panjang parang antara 90-100 cm, sedangkan hiasannya motif-motif yang melambangkan keberanian. Parang terbuat dari besi. Kepala parang terbuat dari kayu keras, seperti kayu besi atau kayu gapusa.

Parang bertindak sebagai senjata. Parang ini dipergunakan sebagai senjata untuk melakukan penyerangan terhadap lawan. Sedangkan, sawalaku digunakan sebagai perisai yang berfungsi untuk menahan serangan lawan. Apabila hari ini Parang Salawaku digunakan untuk melengkapi pakaian penari atau upacara perkawinan, pada zaman dahulu senjata ini juga digunakan untuk berperang dan berburu binatang di hutan. Khususnya berperang, parang salawaku digunakan ketika perang Kapitan Pattimura melawan pemerintah kolonial Belanda.

Selain parang salawaku ada juga jenis senjata lain seperti nganga atau yuk nganga (tombak), ngir atau nger (parang biasa), yok (bambu runcing) dan temar yubil (panah). [6]

  1. Pakaian Adat

  1. Pakaian Baju Cele Kain Salele

Baju cela ini bermotif garis-garis geometris/berkotak-kotak kecil. Baju cele dipakai pada upacara-upacara adat. Baju cele dan kain salele. Yang atas itu namanya baju cele (baju dan dibahu kain pikul) kain kebaya dan kain salele di pinggang. Biasanya jujaro/nona/gadis yang memakai diberi istilah nona baju cele kaeng/kain salele. Kalau seorang ibu (sudah kawin), diberi istilah Nyora baju cele kain salele. Pada umumnya busana ini memiliki corak warna ceria/berani (kebanyakan merah), karena memiliki nilai keceriaan dan kecekatan. Baju cele ini biasanya dikombinasikan dengan kain sarung yang warnanya tidak terlalu jauh berbeda, harus seimbang dan serasi. Baju cele ini dipakai juga dalam upacara- upacara adat (acara pelantikan raja, acara cuci negeri, acara pesta negeri, acara panas pela dll.) dan di kombinasi dengan kain yang pelekat yang disalele yaitu disarung dari luar dilapisi sampai batas lutut dan dipakai lenso (sapu tangan yang diletakan di pundak). Pakaian ini dipakai tanpa pengalas kaki atau boleh juga pakai selop. Konde/sanggul yaitu konde bulan yang diperkuat lagi dengan tusukan konde yang disebut haspel yang terbuat dari emas atau perak.[7]

  1. Baju Nona Rok dan Baju Perkawinan
    Baju Nona Rok

Kebaya putih tangan panjang berlengan kancing dari jenis kain Brokar halus. Pengikat pinggang terbuat dari perak yang disebut pending. Sepatu vantovel hitam dan berkaos kaki putih. Rok dibuat/dijahit lipit kecil sekali dari jenis kain motif kembang kecil-kecil warna merah atau orange







Pakaian Pengantin



Baju berwarna putih, berlengan panjang dari kain brokar yang harus dan ada variasi motif renda kecil. Baju ini motif baju cele leher bundar terbelah pada leher. Pada bagian tangan kancing dari baju tersebut ditutup dengan band tangan yang divariasi dengan manik- manik warna emas dan pada bagian kiri pakaian tersebut akan disisipkan lenso pinggang yang terbuat dari sisa kain jenis brokar tadi dan divariasi dengan renda : sedang yang dipegang oleh pengantin disebut lenso tangan terbuat dari kain putih yang dibordir.

Cole

Cole ini dipakai pada bagian dalam dari baju modern tadi. Cole yaitu baju dalam atau lebih dikenal istilah kutang, yang dipakai/dikenakan sebelum memakai baju/kebaya. Cole ini berlengan panjang tapi ada juga yang berlengan sampai ke sikut dan pada bagian atasnya diberi renda. Cole ini terbuat dari kain putih sedangkan bagian belakang yang lebih dikenal dengan istilah belakang cole itu juga dibordir. Bagian depan cole ini memakai kancing. Kain pengantin terbuat dari kain saten merah atau juga beludru merah. Kain ini menarik karena dihiasi dengan manik- manik warna emas pada bagian kain tersebut, dan pada kaki dari kain tersebut diberi renda warna emas. Tali kaeng diikat pada kain pengantin agar tidak terlepas. Pada tali kaeng ini juga diberi renda. Mistiza Mistiza ini berbentuk huruf U panjangnya ± 60 cm mistiza ini dipakai dari depan ke belakang, berwarna merah diberi manik-manik dan diberi renda emas. Memakai kalung motif mutiara besar Anting-anting/giwang. Cenela adalah sejenis slop yang dibuat dari kulit. Ujung slop atau bagian atas cenela dilapisi dengan kain beludru yang dihiasi oleh hiasan bunga-bunga kecil yang dinamakan Laborcis yang berwarna keemasan, dipakai dengan kaos kaki warna putih. Sanggul dihiasi dengan sosoboko yaitu kembang lingkar konde yang disebut bunga ron yang dibuat dari papeceda dengan 9 buah kembang goyang atau 7 bauh sebagai lambang Patasiwa dan terbuat dari emas dan tusuk konde yang disebut nano-nano dan juga sisir konde/sanggul, berwarna keemasan.  Kalau pengantin yang masih gadis diberi renda hitam disebut pokis dibuat dari kain saten/renda gigi anjing ditaruh di atas dahi di depan konde.

Pakaian Pengantin Laki-Laki terdiri dari Kebaya dansa dipakai pada bagian luar berwarna merah, tanpa kancing berlengan panjang, dipakai hiasan renda, warna keemasan pada pinggiran kebaya dansa. Kain untuk kebaya dansa yaitu saten atau beludru merah. Baniang putih dipakai pada bagian dalam dari kebaya dansa pakai kancing warna emas, dengan baniang leher bundar, kain yang dipakai adalah jenis kain saten. Baniang juga berlengan panjang. Band Pinggang berwarna merah diikat pada bagian dalam dari kebaya dansa, pada pinggiran band pinggang dipakai renda keemasan dan variasi manik-manik emas dan memakai celana panjang hitam dan sepatu hitam. Sketsa Busana Mustiza/ yang dikenal dengan Baju Basumpa.[8]

  1. Baniang Putih dan Kebaya Dansa
  2. Kebaya putih Tangan Panjang dan Kain Silungkang dan Kebaya Hitam Gereja[9]







  1. SISTEM EKONOMI DAN MATA PENCAHARIAN HIDUP

Perekonomian masyarakat Ambon didominasi oleh sektor pertanian, selain bertani, masyarakat Ambon memburu babi hutan, rusa dan burung kasuari dengan menggunakan jerat dan lembing.  Hampir semua masyarakat Ambon juga bisa menangkap ikan. Pada sektor pertanian,  orang Ambon akan membuka sebidang tanah di hutan, kemudian menebang pohon-pohon dan membakar batang-batang dan dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat, kemudian ditanami tanpa irigasi dengan kacang-kacangan dan ubi-ubian. Misalnya ada sagu, kentang, padi, tebu, jagung, tembakau, cengkih dan buah-buahan. Bila hasil panen berlebih maka penduduk akan menjualnya dimana hasil panen itu digunakan untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Kemudian masyarakat Ambon yang mata pencahariannya menangkap ikan, mereka menggunakan kail yang amat sederhana atau dengan menggunakan kait, harpun [10] 



  1. SISTEM KEMASYARAKATAN DAN ORGANISASI SOSIAL

  1. Hubungan Kekerabatan

Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal, yang diiringi dengan pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih, adalah matarumah atau fam, yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Matarumah merupakan kesatuan dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan para isteri dari laki-laki yang telah kawin. Dengan kata lain matarumah merupakan satu klen kecil patrilineal. Matarumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah dati yaitu tanah milik kerabat patrilineal.

Perkawinan menurut adat merupakan urusan dari dua kelompok kekerabatan yaitu matarumah dan family yang ikut menentukan dalam fungsi penyelenggaraan dari  perkawinan itu. Perkawinan disini sifatnya exogami, yaitu seseorang harus kawin dengan seseorang diluar klennya. Mereka mengenal tiga macam cara perkawinan yaitu kawin lari, kawin minta dan kawin masuk. Kawin lari atau lari bini adalah sistem kawin lari yang lazim dilakukan oleh orang Ambon-Maluku. Lari bini ditempuh untuk menghindari prosedur perkawinan yang dianggap rumit oleh yang bersangkutan. Perkawinan ini dianggap atau dipandang kurang baik dan tidak diinginkan oleh pihak kerabat gadis. Sedang bagi pihak kaum kerabat pemuda perkawinan ini sangat diinginkan untuk menhindari kekecewaan pemuda bila lamarannya ditolak serta menghindari kecemasan dalam menunggu syarat-syarat perkawinan yang akan ditentukan oleh pihak keluarga gadis. Seringkali lari bini justru disarankan oleh pihak orang tua gadis untuk menyingkat waktu dan mengurangi harta kekayaan yang harus dikeluarkan.[11]

Selain itu, masyarakat Ambon juga mengenal dua macam upacara adat sebelum melaut yakni upacara turun perahu baru dan upacara turun jaring baru. Upacar ini dilakukan di atas perahu di pinggir pantai. Upacara ini mengundang 8-20 orang tergantung bsear kecilnya perahu. Dalam upacara ini disediakan makan dan minuman dan pembacaan doa dari tokoh agama. Tujuannya adalah untuk terhindarnya perahu dari marabahaya dan perahu itu dapat memperoleh hasil yang banyak serta menghindarkan dari roh-roh halus yang mengganggu. Untuk upacara turun jaring baru hanya berbeda tempat pelaksanaannya, yakni di rumah pemilik jaring.



  1. Organisasi Sosial

Selain perkawinan, ada peran-peran di dalam masyarakat menurut klen atau mataruma yang ada di dalam negeri sesuai fungsi masing-masing mataruma. Peran-peran yang dimainkan itu dapat dilihat ketika masyarakat suatu negeri akan mendirikan atau memperbaiki baileu. Dalam mendirikan atau memperbaiki baileu, masing-masing mataruma berhak dan berkewajiban untuk mengerjakan bagian tertentu dari baileu misalnya mendirikan tiang, mengatapi dan sebagainya. Dengan demikian, baileu memperlihatkan keutuhan dari suatu negeri. Terdapat ritual khusus pada baileu  yang disebut upacara Cuci Negeri dimana warga desa wajjib membersihkan segala sesuatu dengan baik misalnya balai desa, rumah, pekarangan lalu diadakan pesta makan, minum dan bersuka ria. Tujuannya adalah untuk menjauhkan unsur-unsur buruk dari negeri, meminta perlindungan kepada nenek moyang, serta memperkuat kembali ikatan sosial yang damai antara keluarga yang ada di dalam negeri tersebut.[12]

Berbicara mengenai Organisasi-organisasi Desa, terdapat beberapa jabatan dalam administrasi desa adalah kepala desa (raja) suatu jabatan yang dulu turun temurun, tetapi sekarang secara resmi harus dipilih oleh rakyat, kepala adat yang dianggap  menguasai suatu bagian desa (aman) dan kepala bagian desa (kepala soa). Kecuali itu masih ada pejabat-pejabat lain seperti : ahli adat mengenal hukum adat tanah dan soal-soal  warisan tanah (tuan tanah), seorang pejabat adat yang dulu meruapakan panglima perang (kapitan), polisi kehutanan (kewang) dan penyiar berita di desa (marinyo). Semua pejabat-pejabat pemerintahan desa tersebut tergantung ke dalam suatu dewan desa, bernama badan saniri negeri, atau saniri saja.

Raja adalah jabatan kepala desa di Ambon, Maluku yang bertugas mengurusi beberapa masalah yang berhubungan dengan administrasi desa. Jabatan raja tersebut diperoleh dengan cara turun temurun, tetapi saat ini jabatan raja diperoleh dengan cara pemilihan rakyat. Jabatan raja sering merupakan suatu jabatan adat, sedangkan untuk menjalankan pemerintahan desa yang sungguh-sungguh dilaksanakan oleh kepala soa secara bergiliran. Walaupun sekarang harus dipilih, tetapi dalam kenyataan masih ada juga yag mendapat jabatannya karena keturunan, atau karena kewargaannnya di dalam klen yang secara adat berhak memegang pimpinan. Demikian raja memang sering masih merupakan suatu jabatan adat, sedangkan pemerintahan desa yang sungguh-sungguh dilakukan oleh kepala-kepala soa secara bergilir.[13] Berikut adalah beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :

  1. Tuan tanah : Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
  2. Kapitan : Seseorang yang ahli dalam peperangan
  3. Kewang: Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
  4. Marinyo : Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. [14]

Suatu ciri menyolok dari masyarakat pedesaan di Maluku adalah adanya banyak organisasi-organisasi adat dengan tujuan dan fungsi sosial tertentu dalam kehidupan masyarakat. Terutama di dalam masyarakat desa-desa di Ambon dan Seram, organisasi-organsasi dalam masyarakat serupa itu telah tumbuh dengan subur. Salah satu contoh adalah organisasi patasiwa dan patalima, yang merupakan suatu organisasi untuk menghimpun kekuatan politik dan merupakan suatu organisasi kemiliteran. Istilah patasiwa berati Sembilan bagian dan patalima berati lima bagian. Suatu desa/negeri masuk dalam kelompok patasiwa atau patalima, jika jumlah benda-benda yang digunakan dalam ritual masing-masing berjumlah sembilan atau kelipatan sembilan untuk patasiwa, dan jumlah lima atau kelipatan lima untuk patalima. Hal yang sama terlihat pula pada arsitektur baileu, sebuah tempat pertemuan yang dianggap sakral tempat upacara-upacara negeri sering dilakukan, misalnya upacara pengangkatan dan pelantikan Raja. Dalam jurnal karya Jacob Duyvendak menyebutkan bahwa posisi batu pemali yang lazim diletakkan di samping baileu menjadi pembeda antara patasiwa dan patalima. Apabila batu pemali menghadap ke gunung atau ke darat, maka negeri tersebut termasuk dalam kelompok patalima. Sebaliknya, jika batu pemali yang menghadap ke laut atau ke pantai mencerminkan ciri negeri patasiwa.[15]

Di desa-desa Ambon ada juga organisasi masyarakat yang terdiri dari pemudi-pemudi yang sudah dewasa tapi yang belum kawin. Organisasi-organisasi ini disebut jojaro.Selain itu ada perkumpulan pemuda-pemuda yang belum kawin dinamakan ngungare.Organisasi lain yang amat penting terutama dalam masyarakat pedesaan di Ambon, adalah organisasi pela. Ini adalah persatuan-persatuan persahabatan antara warga-warga dari dua desa atau lebih yang berdasarkan adat. Anggota-anggota dari organisasi serupa itu mempunyai pelbagai  kewajiban satu terhadap yang lain, tetapi juga bisa mengharapkan bantuan spontan dari sesama anggota organisasi dalam keadaan bahaya atau kesusahan. Pada dasarnya ada dua macam pela, yaitu pela keras (atau pela tulen, atau pela minum darah) dan pela tempat sirih.

Suatu bentuk organisasi masyarakat yang juga ada di semua desa adalah muhabet, yaitu suatu organisasi masyarakat yang mengurus segala keperluan yang berhubungan dengan kematian. Anggotanya ialah para kerabat dan warga satu desa. Disamping pemimpin desa dan kepala-kepala adat, orang Ambon juga mengenal adanya pemimpin-pemimpin agama, ialah agama nasrani, islam, dan agama asli. Di desa-desa yang menganut agama nasrani maka pendeta atau pemuka lain yang diangkat oleh sinagod Gereja Maluku-lah, yang menduduki tempat tertinggi pada kongregasi (umat agama dari suatu desa). Demikian halnya pula dengan seorang Imam, yang merupakan pemimpin agama yang juga sederajat kedudukannya dengan kepala desa dalam sebuah desa yang beragama Islam. Pemuka-pemuka agama Nasrani dan Islam tadi, sebenarnya menggantikan peranan pemuka agama asli yaitu mauwena, yang dulu merupakan perantara antara dunia ini dengan dunia roh nenek moyang dan dunia gaib.[16]

  1. Upacara Adat

      1. Cuci Negeri

Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan segala sesuatu yang ada dalam masyarakat. Bangunan yang harus dibersihkan antara lain baileu, tempat pertemuan yang dianggap suci atau keramat, rumah-rumah dan pekarangan. Apabila upacara ini tidak dilakukan dengan baik akan terjadi bencana pada kehidupan masyarakat pedesaan Ambon, misalnya panen gagal dan terjangkitnya wabah penyakit. Upacara ini bertujuan menghidupkan rasa hubungan dengan nenek moyang yang dianggap telah membangun baileu, sumber-sumber air, tempat-tempat suci lainnya. Tujuan lainnya menghidupkan struktur sosial dan kepemimpinan adat yang merupakan dasar kehidupan masyarakat desa serta untuk mengintensifkan rasa solidaritas masyarakat setempat.[17]

    1. Upacara Turun Perahu Baru dan Upacara Turun Jaring Baru
      Upacara Turun Perahu dilakukan di atas perahu di pinggir pantai yang dipimpin oleh tokoh agama. Pada upacara ini disediakan makan dan minuman dan yang paling penting adalah pembacaan doa dari tokoh agama. Tujuan utamanya adalah terhindarnya perahu dari marabahaya dan dengan perahu itu dapat memperoleh hasil tangkapan yang banyak serta menghindarkan dari roh-roh halus yang mengganggu. Untuk upacara turun jaring hampir sama dengan upacara turun perahu baru bedanya tempat pelaksanaannya yakni di rumah pemilik jaring. [18]

    2. Upacara Pukul Sapu

Upacara ini dilakukan pada tanggal 7 syawal  (perhitungan kalender Hijriah atau kalender Islam) untuk mengenang perjuangan Achmad Leakawa atau lebih dikenal dengan nama kapiten Perang Telukabessy yang rela berkorban menyelamatkan anak buahnya dengan menyerahkan diri sehingga pasukannya selamat dari serangan pasukan Belanda. Beliau sendiri akhirnya dijatuhi hukuman mati  oleh Belanda.

  1. KESENIAN

  1. Lagu Daerah
    Lagu daerah  di Ambon yakni Ambon Manise, Burung Kakatua, Shio Mama, Rasa Sayange, Kole-Kole, O Ulate dan lainnya. Penulis mengambil satu lagu daerah untuk mengetahui makna dibalik lagu tersebut. Lagu terssebut adalah “Rasa Sayange”. Rasa Sayange memiliki makna yang sangat mendalam. Berikut adalah lirik lagu Rasa Sayange :
    Refrain
    Rasa sayange...rasa sayang sayange...
    Eeee lihat dari jauh rasa sayang sayange

    Mana kancil akan dikejar, ke dalam pasar cobalah cari...
    Masih kecil rain belajar, sudah besar senanglah diri
    Si Amat mengaji tamat, mengaji Qur’an di waktu fajar...
    Bila lambat asal selamat, tak kan lari gunung dikejar
    Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi
    Kalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi

    Pada refrain  terdapat penekanan  agar kita memahami rasa sayang. Rasa sayang tersebut akan terlihat dari jauh (berbicara tentang jarak) yang menciptakan kerinduan. Pada bait pertama tentang pentingnya belajar di masa kecil agar kehidupan di masa mendatang  bahagia. Bait kedua adalah nasihat agar tidak terburu-buru  dalam melakukan sesuatu, kata lambat tidak dimaknai sebagai tindakan yang teliti dan cermat. Seperti dalam mengaji Al Quran, yang dicari bukanlah kecepatan untuk tamat melainkan pemahaman yang utuh kata demi katannya. Bait kedua ini bermakna tentang pentingnya proses, jarak tempuh dalam menggapai tujuan. Bait ketiga berbicara soal arak secara ruang, perpisahan dan pertemuan secara badani. Dapat dimaknai bahwa setiap pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. [19]

  2. Tarian Daerah

      1. Tari Katreji
        Tari yang menggambarkan kegembiraan masyarakat pada saat diadakannya pesta-pesta besar. Gerakan tari ini sangat variatif dan berkesan riang.
      2. Tari Suhu Reka-reka
        Tarian ini dilakukan ketika terang bulan. Penari pria dan wanita melompat diantara gerakan gaba-gaba atau bambu yang dipukul-pukulkan  menurut irama musik.
      3. Tari Pondango
        Tari pergaulan yang dibawakan sebagai hiburan untuk memeriahkan pesta perkawinan atau pesta lainnya.
      4. Tari Cakalele
        Tarian ini disebut juga tari perang yang diperagakan oleh pria dewasa sambil memegang parang salawaku.
      5. Tari Angkosi
        Tarian ini ditampilkan dalam upacara-upacara penting seperti peresmian negeri atau desa baru dan penobatan serta penyambutan tamu agung.
      6. Tari Bambu Gila
        Tarian ini mengandung unsur mistik. Tarian ini menggambarkan identitas masyarakat Maluku yang menunjung tinggi semangat gotong royong dalam kehidupan sosial.[20]

  1. Seni Musik

  1. Hio-hio
    Lagu untuk menghormati para leluhurnya atau tamu yang dihormati sekaligus mengiringi tarian adat.
  2. Manise-manise
    Lagu berbalas pantun yang isi pantunnya disesuaikan dengan suasana dan nyanyian ini sekaligus sebagai pengiring tarian.
  3. Lembe-lembe
    Nyanyian bersama yang berkaitan dengan usaha mencari ikan di laut.
  4. Hia hoi karalele
    Lagu untuk berperang dengan iringan musik tifa (seperti gendang) dan totobuang (gong kecil). Ada juga alat musik tiup yakni kulit bia (kulit kerang) dan alat musik ukulele.[21]


  1. SISTEM KEPERCAYAAN ATAU AGAMA

Lambang Maluku berbentuk perisai bersudut tiga, yang di dalamnya terdapat lukisan daun sagu dan daun kelapa, mutiara, pala dan cengkih, tombak, gunung, laut dan perahu. Sagu adalah sumber kehidupan dan makanan pokok daerah Maluku. Kelapa adalah hasil bumi Maluku. Mutiara adalah hasil alam khas Maluku. Tombak sebagai simbol ksatria. Gunung merupakan simbol kekayaan hasil hutan yang berlimpah. Laut dan perahu adalah simbol persatuan dan kesatuan yang  kekal dan abadi. Dalam lambang , terdapat motto daerah bertuliskan siwa lima yang artinya milik bersama.

Pada masa sebelum islam dan nasrani masuk ke Maluku, khususnya di Ambon, mereka menganut sistem kepercayaan animistis. Mereka percaya pada makhluk-makhluk halus yang baik (upu ama) dan yang ahat (lita). Roh leluhur bersifat melindungi kehidupan sesuai dengan norma-norma adat, sebaliknya melanggar hukum bila dilanggar. Ada juga benda-benda pusaka yang dianggap memiliki unsur gaib, misalnya kain merah dapat melindungi orang dari penyakit dan bahaya.[22]

























































[2]R. Rizky Wibisono, Mengenal Seni dan budaya Indonesia (Jakarta: Penebar Swadaya, 2013), hal.119-122

[7]http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbambon/wp-content/uploads/sites/27/2015/03/Di-Publikasikan-Pada-Jurnal-Peneltian-Vol-7-Nomor-5.-Edisi-November-2013-Untuk-Mendapatkanya-Silakan-Download-di-sini.pdf , diunduh pada tanggal 20 November 2015
[8]http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbambon/wp-content/uploads/sites/27/2015/03/Di-Publikasikan-Pada-Jurnal-Peneltian-Vol-7-Nomor-5.-Edisi-November-2013-Untuk-Mendapatkanya-Silakan-Download-di-sini.pdf , diunduh pada tanggal 20 November 2015
[9]http://www.ambon.go.id/pakaian -adat/, diunduh pada tanggal 19 November 2015
[10]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan, 2010), hal.176-177
[11]Gatut Murniatmo dkk, Khazanah Budaya Lokal (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hal.100
[13]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan, 2010), hal.177-181
[15]Jacob W. Ajawaila, Jurnal Orang Ambon dan Perubahan Kebudayaan 1 (Ambon: Universitas Pattimura, 2000), hal.17-20
[16]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan, 2010), hal.181-185
[17]Gatut Murniatmo dkk, Khazanah Budaya Lokal (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hal..40

0 komentar:

Posting Komentar